|

Pentingkah Perlindungan bagi Perempuan Aktivis Perdamaian?

Burung merpati perdamaian. shutterstock.com

AKTIVIS perempuan Irlandia Utara Mairead Coriggan Maguire menulis, “If we want to reap the harvest of peace and justice in the future, we will have to sow seeds of nonviolence here and now, in the present.” 

Dalam Bahasa Indonesia, tulisan penerima Nobel Perdamaian 1976 itu bermakna: Jika kita ingin menuai panen perdamaian dan keadilan pada masa mendatang, kita harus menabur benih tanpa kekerasan di sini dan saat ini, pada masa sekarang.

Kutipan Corrigan telah lama disampaikan, yakni sebelum era revolusi industri 5.0 berlangsung. Namun motivasi dari kutipan tersebut akan terus muncul bagi siapa pun termasuk para perempuan untuk turut menabur keadilan dan perdamaian di dunia. Terlebih di tengah kemajuan teknologi dan industri yang mana perempuan juga perlu terlibat dalam menciptakan perdamaian.

Lalu mengapa perempuan penting untuk terlibat dalam membangun perdamaian? Adakah alasan tersendiri di balik itu semua?

Alasan umumnya karena dianggap lebih beragam dan inklusif. Dengan demikian, proses perdamaian dapat berjalan lebih efektif di masyarakat.

Keterlibatan perempuan diyakini mampu memperluas akses pada masyarakat, yang mungkin tidak dapat ditembus oleh laki-laki.

Selain itu, dapat membantu membangun kepercayaan dan keyakinan pada masyarakat setempat serta meningkatkan akses dan dukungan.

Partisipasi perempuan dalam perdamaian tidak lepas dari penerapan nilai kesetaraan gender sebagaimana yang dinyatakan Muhammad Firman, Sobali Suswandy, Denda Ginanjar, dan Melita Amalia Ratu Kania dalam penelitiannya yang berjudul Kesetaraan Gender dan Perdamaian Global: Mendorong Partisipasi Perempuan dalam Negosiasi Perdamaian.

Terlebih, perempuan ternyata juga memiliki kemampuan negosiasi yang sangat bagus.

Sejumlah penelitian lain menunjukkan tingkat keberhasilan perempuan dalam proses tersebut bernilai positif. Mereka selalu berhasil mencapai kesepakatan yang efektif karena perempuan selalu membawa perspektif unik dan berbeda. Para perempuan juga dianggap mampu memperluas topik-topik yang didiskusikan.

Meski demikian, kehebatan perempuan dalam membangun perdamaian nyatanya masih dipandang sebelah mata oleh dunia. Sebuah ironi, bukan?

Alasan utama perempuan dipandang sebelah mata oleh dunia adalah nilai patriarki yang masih mendarah daging pada masyarakat. Lensa maskulinitas dalam menghadapi persoalan, termasuk membangun perdamaian, masih terus digunakan.

Maka, tak heran apabila perempuan sering sulit mendapatkan akses untuk berkontribusi. Sekalipun mereka mampu terlibat, keamanan dan keselamatan para perempuan belum sepenuhnya terjamin.

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melaporkan jaminan keselamatan dan nyawa aktivis hak asasi manusia atau HAM perempuan masih kurang. Mereka menghadapi serangan fisik dan seksual, stigmatisasi, tuntutan pidana, kampanye kotor, ancaman, pelecehan, dan perlakuan buruk dalam lingkungan.

Kantor HAM PBB juga menunjukkan telah terjadi insiden pembalasan dan intimidasi terhadap 172 aktivis HAM perempuan dan organisasi masyarakat sipil sepanjang Mei 2021 sampai April 2022.

Situasi ini tentu sangat memprihatinkan apalagi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang perempuan dan perdamaian serta keamanan telah didengungkan sejak 2000. Komitmen ini sudah seharusnya menjadi pijakan masyarakat bahwa perempuan perlu terlibat dalam perdamaian pula.

Betty Williams dan Mairead Corrigan (kanan) membacakan ikran perdamaian di Woodvale Park, Belfast pada tahun 1976. bbc.co.uk 
Belajar dari Tokoh-tokoh Perempuan Dunia 

Kendati terdapat banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, situasi ini tidak boleh membuat perempuan merasa rendah diri atas kemampuannya. Ini sudah banyak dibuktikan melalui sosok Mary Teresa Bojaxhiu (Bunda Teresa), Shirin Ebadi, Mairead Coriggan Maguire bersama Betty Williams, dan aktivis perempuan lainnya yang kapasitas dan kemampuannya diganjar dengan Nobel Perdamaian.

Sosok terkenal seperti Bunda Teresa, misalnya, telah diakui dedikasi dan sumbangsihnya dalam membantu umat manusia yang mengalami penderitaan. Beberapa hal dilakukan Bunda Teresa seperti membangun panti asuhan, rumah perawatan untuk penderita kusta, dan rumah sakit di Kalkuta, India.

Ada pula Shirin Ebadi, seorang aktivis HAM asal Iran, yang telah berjuang menegakkan demokrasi dan hak asasi terutama bagi perempuan dan anak-anak.

Sedangkan Mairead Maguire dan Betty Williams dikenal atas perjuangannya dalam kampanye menentang konflik antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara.

Kiprah mereka sudah seharusnya menjadi kekuatan bagi perempuan untuk terus maju memperjuangkan perdamaian di lingkungan masing-masing Dengan pendekatan empati yang kuat terhadap lingkungan disertai komitmen, keberanian, dan jejaring luas, mereka berhasil memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat.

Jangan dilupakan juga karakter pantang menyerah yang perlu dimiliki jika ingin berpartisipasi dalam perdamaian. Sebab, kita tentu mengetahui bahwa membangun sebuah perdamaian bukan hal mudah untuk dicapai dalam satu waktu.

Bunda Teresa. convoyofhope.org
Solusi Meningkatkan Keterlibatan Perempuan

Lalu, bagaimana cara meningkatkan keterlibatan perempuan dalam membangun perdamaian?

Solusi pertama, yakni pemerintah tentu harus menyiapkan kebijakan yang melindungi para aktivis terutama perempuan, yang berjuang dalam menciptakan perdamaian di lingkungannya.

Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah antara lain pembuatan aturan khusus perlindungan aktivis perempuan, pelatihan untuk penegak hukum agar sensitif terhadap isu gender, pendampingan dan bantuan hukum, pemberian layanan dukungan psikosial, serta pembentukan jaringan keamanan.

Pembuatan kebijakan harus dipastikan melibatkan perempuan yang mendukung kepentingan gender. Cara ini setidaknya dapat membantu memasukkan perspektif yang sesuai dengan kebutuhan para perempuan.

Solusi kedua, tidak berhenti mengampanyekan kesetaraan gender di seluruh komponen masyarakat, baik melalui media sosial, media massa, dan saluran lainnya. Kampanye ini harus terus digaungkan mengingat pandangan ini belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat dunia.

Bukti pemahaman kesetaraan gender yang kurang dapat lihat melalui hasil survei United Nation (UN) Women beberapa tahun lalu. Survei itu menunjukkan 58 persen pemuda berusia 16 sampai 19 tahun percaya bahwa laki-laki adalah pemimpin politik yang lebih baik daripada perempuan.

Itu hanya setitik fenomena stereotip gender yang masih terjadi pada era modern dan tentu ada banyak jenis lainnya.

Solusi lain adalah peningkatan kerja sama dengan lembaga internasional yang mendukung keterlibatan perempuan dalam menyusun perdamaian. Upaya ini setidaknya dapat membantu membangun pemahaman para perempuan yang sesuai dengan perspektif gender. Keterlibatan lembaga tersebut juga dapat menunjukkan bahwa ada dukungan kuat atas perjuangan para perempuan.

Pada akhirnya, keterlibatan perempuan memang harus dimulai dari kesadaran dan keinginan masing-masing. Seperti kata Bunda Teresa, “Jangan menunggu pemimpin; lakukan sendiri, dari orang ke orang”.

Setelah semuanya berjalan baik, maka mereka akan melihat betapa hebatnya perempuan dalam menabur kedamaian, walaupun dunia tidak selalu berpihak.

Penulis: Wilda Fizriyani (Anggota Puan Menulis)
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *