PPN 12 Persen Jadi Kado Tahun Baru bagi Kaum Bawah dan Menengah

Ilustrasi oleh PERAWI/Abdi Purmono

PEMERINTAH berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 setelah lebih dulu menaikkan PPN jadi 11 persen pada 1 April 2022.

Dua kebijakan baru itu pun mengakhiri tarif PPN 10 persen yang berlaku sejak 1983.

Empat puluh satu tahun silam berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Sesuai amanat UU ini berlaku sistem PPN dengan tarif 10%.

Tarif PPN 10 persen berlaku hingga akhir Maret 2021 dan kemudian berubah naik jadi 11 persen seturut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kebijakan itu menuai protes luas masyarakat. Tentu sangat disayangkan sekali pemerintah bersikeras memberlakukannya. Padahal belum 100 hari Presiden Prabowo Subianto menjabat, ia sudah lupa dengan janjinya sendiri takkan menaikkan pajak.

Tarif PPN dinaikkan jadi 12 persen dengan dalih butuh uang untuk membiayai program kerja. Baiklah, tapi apakah Pak Prabowo tidak melihat ekonomi kita sedang lesu, daya beli melemah, angka pengangguran meningkat?

Wajar masyarakat protes. Pada dasarnya, PPN adalah pajak yang dibebankan pada setiap pembelian barang dan jasa. Artinya, kenaikan pajak berdampak pada seluruh lapisan masyarakat.

Terlepas simpang siur sektor mana saja yang dibatasi, tapi hal terpenting untuk diperhatikan adalah hampir seluruh aktivitas masyarakat tidak terlepas dari transaksi jual dan beli barang dan jasa.

Skema kebijakan menaikkan PPN 12 persen seperti memaksa, sebab berpotensi mencekik dan makin menurunkan daya beli masyarakat.

Tapi pemerintah tiada kehabisan ide untuk memuluskan kebijakan menaikkan PPN. Pemerintah dengan senang hati menyiapkan enam paket kebijakan ekonomi berupa insentif hingga diskon pajak sebagai stimulus peredam dampak kenaikan PPN.

Adapun salah satu paket stimulus ekonomi tersebut diberikan kepada enam sektor produktif, seperti sektor rumah tangga yang mendapatkan bantuan pangan hingga diskon listrik 50 persen bagi pelanggan dengan daya hingga 2.200 VA selama dua bulan.

Stimulus pada sektor rumah tangga sungguh menggiurkan mengingat pengeluaran untuk sektor rumah tangga terbilang sangat besar. Namun yang menjadi pertanyaannya, bagaimana konsep stimulus pada sektor rumah tangga ini?

Ambil contoh di Kota Malang.

Luas Kota Malang 111,08 kilometer persegi menurut isi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2022-2042.

Berdasarkan data Kota Malang dalam Angka Tahun 2023, Kota Malang berpenduduk 847.182 jiwa. Populasi ini tersebar di lima kecamatan: Klojen (93.990 jiwa), Blimbing (182.851 jiwa), Kedungkandang (209.375 jiwa), Sukun (196.860 jiwa), dan Lowokwaru (164.106 jiwa). Kepadatan penduduknya 7.627 jiwa per kilometer persegi.

Terlihat penduduk Kecamatan Kedungkandang terbanyak. Tingkat kepadatan penduduknya beragam. Kotalama jadi kelurahan paling padat penduduk, dengan populasi 30.660 jiwa. Sedangkan Kelurahan Wonokoyo jadi kelurahan dengan kepadatan penduduk terendah, yakni 7.535 jiwa. Angka ini merujuk data rilisan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang 2023.

Salah satu masalah utama yang muncul pada daerah berpenduduk terlampau padat adalah tingginya angka kemiskinan seperti yang dialami Indri dan Sariatun.

Indri warga Kedungkandang berusia 28 tahun. Dia memiliki dua anak dan hidup sebagai orang tua tunggal. Dia juga mengurus sang ibu, Sariatun, 51 tahun.

Selama 6 bulan Indri bekerja di pabrik rokok dengan upah harian Rp 30 ribu dengan target melinting rokok lebih dari seribu batang dan dengan jam kerja 8 jam sehari. Sedangkan Sariatun bekerja sebagai asisten rumah tangga di dua rumah majikan berbeda, dengan jam kerja mulai pukul 6 pagi hingga 18.00 WIB.

Indri dan Sariatun hidup dengan berbagai keterbatasan. Bahkan, sejak jam kerja Sriatun di rumah majikannya bertambah, Indri berhenti kerja dan kini hanya mengandalkan jual-beli barang dalam jumlah sedikit melalui salah satu penyedia lokapasar (marketplace).

Terbatasnya modal menghambat Indri untuk mengembangkan usaha.

“Setelah saya berhenti dari pabrik nggih mboten wonten (ya sama sekali tidak ada) pemasukan. Akhirnya sisa tabungan dan penghasilan di pabrik itu kula (saya) pakai modal jualan online. Cuma kadang hasilnya ndak menentu karena sudah banyak saingan di aplikasi yang sama. Kadang juga kesusahan kalau mau kulakan (belanja barang dalam jumlah banyak) karena barangnya mboten cepet (tidak cepat) laku. Pas sudah waktunya kulak lagi, ndak bisa beli barang dalam jumlah yang sama karena sekarang harga-harga sering sekali naik. Sedangkan modal saya tipis sekali.”

Sejak berhenti kerja, Indri tidak pernah mendapat pelatihan dari pihak pemerintah. Selama bekerja di pabrik rokok juga tidak mendapatkan jaminan keselamatan kerja. Bahkan, pada masa merebaknya pandemi Covid-19, April-Desember 2020, Indri dan ibunya juga tidak mendapat bantuan langsung dari pemerintah. Bantuan sosial baru mereka dapatkan pada Januari 2021.

Berawal sejak awal 2020, pandemi Covid-19 di wilayah Indonesia dinyatakan berakhir melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 Tanggal 21 Juni 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Diasease 2019 di Indonesia.

Indri bersyukur pandemi virus corona berakhir walau tidak langsung membuat hidupnya membaik. Dia dan Sariatun tetap kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah.

“Selama ini dari RT dan RW juga tidak pernah mengajukan Ibu atau saya buat dapat bantuan sosial program keluarga harapan (PKH), Mas. Alasane (alasannya), ‘rumahnya lumayan luas’, ‘omahe keramikan (rumahnya berkeramik)’. Padahal ini dikeramik dulu sekali, waktu almarhum Bapak masih ada, waktu saya masih sekolah SMK (sekolah menengah kejuruan). Padahal saya yakin tonggo-tonggo kene (para tetangga sini) ya paham kondisi Ibu dan saya ekonominya gimana.”

Itulah penuturan Indri.

Masih banyak lagi masyarakat yang punya masalah sejenis jika mau diceritakan dari hasil kegiatan lapangan kami. Kisah mereka juga banyak terjadi di daerah lain.

Linimasa kenaikan PPN 12 persen. PERAWI/Abdi Purmono
Tolong Batalkan Kenaikan PPN 

Dari masalah Indri dan Sariatun saja pemerintah harusnya mempertimbangkan lagi rencana menaikkan PPN. Kenaikan PPN juga terkesan memeras masyarakat: banyak kelas menengah menjadi miskin dan yang sudah papa semakin miskin atau jadi masyarakat miskin ekstrem.

Inilah masalah fundamental yang muncul ketika pemerintah menaikkan PPN: penurunan daya beli masyarakat, terutama pada masyarakat kelas bawah dan kelas menengah, kenaikan inflasi, dan potensi naiknya ketimpangan atau kesenjangan antara masyarakat bawah-menengah dan masyarakat kelas atas.

Padahal, jika dilihat grafik penerimaan APBN, pajak masyarakat merupakan salah satu penyumbang dana terbesar. Jadi, ketika PPN naik, yang paling merugi adalah masyarakat.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan melemahkan ketahanan ekonomi sebagian besar masyarakat yang kondisinya masih rapuh, bahkan pada kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi.

Kenaikan tarif PPN jadi 12 persen pasti akan menekan daya beli masyarakat yang sudah melemah, terutama pada kelas menengah ke bawah. Kejatuhan daya beli masyarakat pun turut menyumbang terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kenaikan tarif PPN jadi 1 pada April 2022.

Perlu dipahami, untuk menjaga kredibilitas fiskal diperlukan upaya-upaya terobosan guna mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada level yang aman. Instrumen fiskal yang bisa digunakan cukup beragam, meski implementasinya harus betul-betul memperhatikan banyak variabel.

Sebetulnya, banyak aspek yang bisa digunakan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, sekaligus mengurangi tingginya kesenjangan ekonomi saat ini, tanpa harus menaikkan tarif PPN.

Untuk mendongkrak performa pendapatan PPN, pemerintah fokus saja memberantas kejahatan perpajakan oleh korporasi, seperti tidak menyetorkan pajak yang dipotong atau dipungut, dan penggunaan bukti pemungutan maupun pemotongan pajak palsu.

Perlu dipikirkan pula, kebijakan untuk memajaki harta atau warisan orang-orang kaya (wealth tax) seperti yang digaungkan oleh International Monetary Fund (IMF). Dalam laporan berjudul Fiscal Monitor 2021, IMF menyebutkan penerapan wealth tax merupakan solusi untuk mendorong penerimaan pajak dalam jangka pendek.

Hal itu mengacu pada praktik penerapan wealth tax di berbagai negara, yang cukup berhasil memangkas ketimpangan fiskal, seperti Norwegia, Spanyol, Prancis, dan Swiss.

Norwegia, misalnya, menerapkan wealth tax kepada 1% populasi orang kaya. Kebijakan ini terbukti efektif memangkas ketimpangan kekayaan antara 0,4% hingga 0,6% dari PDB (produk domestik bruto).

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan Ekonomi atau OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mengklasifikan pajak atas kekayaan ke dalam enam jenis pajak atas kepemilikan harta, yakni (1) pajak berulang untuk kepemilikan harta tidak bergerak; (2) pajak berulang atas kekayaan bersih; (3) pajak properti, pajak warisan dan pajak hibah; (4) pajak atas transaksi keuangan dan modal dari penggunaan harta; (5) pajak tidak berulang lainnya untuk kepemilikan harta, dan (6) pajak berulang lainnya untuk kepemilikan harta.

Selain meningkatkan penerimaan pajak dan mengurangi ketimpangan pendapatan, penerapan wealth tax pada dasarnya dapat mendorong pemanfaatan aset secara lebih efisien. Sebab, wealth tax dikenakan terhadap aset tanpa memedulikan besar income yang dihasilkan dari pengelolaan aset tersebut. Artinya, ketimbang aset mengendap atau didiamkan, dengan adanya pajak, maka pemilik akan terdorong untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset-asetnya.

Jadi, alih-alih menaikan tarif PPN yang sudah pasti bakal membebani masyarakat kecil, alangkah lebih baik jika pemerintah menerapkan wealth tax di Indonesia; antara lain, dengan mengenakan pajak atas kekayaan jenis tertentu atau warisan dengan nilai minimal tertentu.

Pajak warisan tampaknya cukup prospektif menambah setoran pajak jika melihat nilai aset orang terkaya Indonesia, yang populasinya hanya 1% tapi menguasai 50% aset nasional.

Dengan alternatif kebijakan wealth tax dapat memperjelas keberpihakan pemerintah bukan melindungi orang-orang kaya, melainkan benar-benar melindungi masyarakat yang miskin.

Penerapan wealth tax bersifat jangka pendek. Tapi bisa lebih efektif dari “paket stimulus untuk kesejahteraan” alias kompensasi atas kenaikan PPN menjadi 12 persen yang juga terbatas dan berjangka pendek. Kompensasi itu tidak sepadan dan memadai dibanding dampak kenaikan tarif PPN yang bersifat jangka panjang dan permanen.

Kenaikan tarif PPN akan mendorong peningkatan inflasi dan dampak ini tak boleh dipandang sepele karena dampaknya berlaku masif pada mayoritas barang dan jasa sehingga secara psikologis akan menekan naiknya harga barang dan jasa secara umum, yang ujung-ujungnya berimbas pada pelemahan daya beli masyarakat.

Saat ini, banyak barang dan jasa yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok, tapi lama kelamaan sudah jadi kebutuhan pokok, seperti pulsa, internet, dan layanan transaksi tanpa uang tunai. Bayangkan saja jika pemerintah kemudian menganggap barang-barang ini sebagai barang mewah sehingga patut dikenai PPN 12 persen.

Baca juga: Bank Indonesia: Transaksi QRIS Meningkat, Penggunaan Kartu ATM Debit Menurun

Intinya, Pak Prabowo, tolong batalkan saja kenaikan tarif PPN jadi 12 persen. Potensi dampaknya jauh lebih besar dan berjangka panjang, tak sebanding dengan potensi kenaikan penerimaan negara dalam satu periode pemerintahan.

Pak Prabowo kan sudah berjanji takkan menaikkan pajak. Masak Bapak tega sih ngasih kado tahun baru berupa kenaikan pajak.

Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2024

 

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *