Perempuan dapat Jadi Pemimpin menurut Universitas Al-Azhar dan UMM

PERAWI, Malang — Sekarang bukan saatnya lagi memperdebatkan apakah perempuan boleh jadi pemimpin atau tidak. Dalam sejarah Islam terbukti perempuan mampu berperan besar dan penting sebagai pemimpin.
Penekanan itu disampaikan penasihat Syekh Al-Azhar Mesir Nahla Shabry Elsiedy dalam kuliah umum yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa, 11 Februari 2025. Kuliah tamu ini diselenggarakan bersama antara UMM dan Universitas Al-Azhar Mesir.
Menurut Nahla, Mesir dan Indonesia merupakan dua negara berpopulasi muslim terbesar di dunia dan punya hubungan bilateral yang sangat baik sejak lama. Bahkan, Mesir jadi negara pertama yang resmi mengakui kedaulatan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini diberikan Mesir pada 22 Maret 1946.
“Jadi wajar jika kedua negara harus saling dukung dan membantu, termasuk di bidang pendidikan seperti kuliah tamu ini,” kata Nahla.
Baca juga: UMM Jadi Kampus Paling Hijau dan Lestari di Malang
Kuliah umum tersebut mengangkat tema tentang kepemimpinan muslimah (perempuan muslim) berdasarkan sirah atau biografi Nabi Muhammad dan sejarah Islam. Nahla menggarisbawahi pentingnya memahami ajaran agama Islam secara komprehensif untuk mengetahui peran perempuan.
“Kita tidak lagi membicarakan apakah perempuan bisa menjadi pemimpin. Tetapi bagaimana perempuan dapat memimpin dan mengabdi. Ini yang lebih penting dibahas,” kata Nahla.
Nahla mengatakan, perempuan dalam Islam sudah dikodratkan mempunyai tanggung jawab kepemipinan. Di masa sekarang, kemimpinan bukan lagi hanya urusan kekuasaan dan penguasaan, melainkan juga tentang amanah, optimalisasi potensi, tanggung jawab, serta pengabdian.
Apabila seorang perempuan diberi kesempatan untuk mengatur dengan kesempatan yang setara, maka mereka juga berpotensi berhasil melakukannya. Apalagi memikul tanggung jawab merupakan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Sejarah Islam telah mencatatkan banyak kisah keteladanan dalam kepemimpinan perempuan.
Salah satunya adalah kisah Khadijah binti Khuwailid yang mendukung awal perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam di Makkah. Dia pun dapat mengatur dan menenangkan suaminya tatkala mendapatkan amanah yang besar dari Allah. Bukan cuma itu, Khadijah juga berkepribadian sangat ramah, suka menolong, penuh empati, dan sangat bijak. Semua kualitas pribadi ini jadi representasi dari kekuatan akidah yang dimilikinya.
Ada juga kisah perempuan lainnya, seperti Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah meriwayatkan lebih dari 2.000 hadis dan menjadi sandaran umat para bidang fikih, hadis, fafsir, dan pengajaran.
Pada intinya, kata Nahla, “Kepemimpinan senantiasa memprioritaskan pengabdian kepada masyarakat, namun jangan sampai tanggung jawab di rumah, terhadap suami dan anak jadi terbengkalai. Perempuan bukanlah batu sandungan kemajuan, melainkan batu loncatan peradaban.”
Nahla tak lupa menilai UMM. Menurutnya, UMM mempunyai visi dan misi yang bagus dalam mengelola lingkungan pendidikan, termasuk dalam hal pengajaran bahasa asing seperti Inggris dan Arab. Maka, dia berharap UMM dapat menjalin kerja sama dengan Al-Azhar dalam pengajaran Bahasa Arab, terlebih mengingat Al-Azhar pun punya pengajar Bahasa Arab yang sangat berkualitas.
Baca juga: Sad Beige Mom, Orang Tua Jangan Memaksakan Kehendak kepada Anak
Pada kesempatan yang sama, Wakil Rektor V UMM Profesor Tri Sulistyaningsih mengatakan, persoalan perempuan menjadi isu yang menarik dan kontekstual untuk dikaji karena masih adanya perdebatan mengenai peran perempuan di lingkungan domestik maupun publik.
Selebihnya, kata dia, UMM memang berkomitmen dalam menyiapkan lulusan yang unggul dengan selalu menjamin kualitas pendidikan yang diberikan sebaik-baiknya. Tri berharap, agar ke depannya kerja sama dengan Al-Azhar terus ditingkatkan di berbagai bidang.
2 Comments