Saat Mereka Mengenang Sastrawan Pramoedya Ananta Toer

HARI Minggu kemarin jadi hari yang dinanti oleh Abdul Khodir Al Jailani alias Bedul.
Mahasiswa semester enam Departemen Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang antusias menyimak sesi diskusi bersama Soesilo Toer, adik kandung terakhir Pram, pada hari kedua acara “Memperingati Satu Abad Pramoedya Ananta Toer” di Local Cafe.
Mahasiswa berusia 21 tahun itu ingin mengenal lebih banyak ihwal karakter sang sastrawan besar itu lewat cerita adik bungsu (ragil) Pram. Apalagi Bedul sedang rajin-rajinnya membaca karya-karya sastrawan legendaris yang lahir di Blora, 6 Februari 1925, dan wafat di Jakarta pada 30 April 2006 itu.
Dua puluh menit setelah azan salat magrib, Bedul tiba di Local Cafe yang berada di wilayah Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Ia terlambat datang sehingga tidak kebagian tempat duduk. Para peserta diskusi sudah menduduki kursi-kursi dan karpet yang disediakan panitia. Diperkirakan ada seratusan orang yang hadir.
Bedul terpaksa harus rela berdiri sejenak menunggu kursi kosong. Sembari menunggu, ia menyusuri pameran yang menampilkan sampul-sampul buku dan beberapa kliping tulisan seputar Pram.
Melihat sampul novel Bumi Manusia, ia teringat dengan buku yang pertama kali ia baca. “Pertama kali baca itu Bumi Manusia yang cetakan pertama. Aku kenal Pram dari podcast (siniar) Mojok yang judulnya Jasmerah yang (dibawakan) Muhidin itu,” kata Bedul pada Perawi.
Baca juga: Kafe Pustaka, Kafe Literasi Berkonsep Mberot Kebudayaan
Bedul mendapatkan novel Bumi Manusia cetakan pertama berbentuk file digital dari internet. Alasannya adalah keterbatasan akses. Terlebih banyak sekali karya Pram yang sulit ditemui fisiknya. Misalkan ada, harganya belum tentu murah dibeli karena buku lawas kayak begitu biasanya dimiliki para kolektor.
Seingat Bedul, ia sudah membaca delapan buku karya Pram sejak 2022. Buku yang dibaca termasuk tiga serial Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), dan Jejak Langkah (1985). Ia sengaja menyisakan serial terakhir, yakni Rumah Kaca (1988).
Selain seri tetralogi, Bedul menaruh kesan dalam pada novel berjudul Perburuan. Novel-novel karya Pram telah membuka dan memberi pemikiran baru baginya. Bukan hanya memperoleh nilai-nilai perlawanan rakyat tertindas, ia juga memaknai dalam arti humanisme secara tersirat.
“Wah efeknya kerasa banget. Apalagi soal mendasarkan hubungan antarmanusia. Aku pikir juga ada semacam ide Marxisme di karya-karya Pram,” kata Bedul, menjawab pertanyaan tentang dampak membaca karya-karya Pram.
Karakter Pram yang berani dan anti-feodalisme juga menulari pemikiran Bedul. Ia jadi lebih berani menentang suatu hal yang rasanya terlalu dogmatis dan tidak relevan. Apalagi ia sempat merasakan hal seperti itu tumbuh di lingkungan pondok pesantrennya dulu.
Baca juga: Ratna Indraswari Ibrahim Melawan Perusakan Lingkungan Lewat Sastra
Di sudut lain, Zayina Hadyalla alias Ayina pun tampak bersemangat mengikuti diskusi bersama Pak Soes, panggilan akrab Soesilo Toer.
Gadis berumur 18 tahun yang masih siswa kelas 12 SMA itu mengaku sangat mengagumi karya-karya Pram. Dia hampir tak pernah absen ikut kegiatan close reading karya-karya Pram yang dilakukan komunitas literasi Sabtu Membaca, sebuah kelompok literasi jalanan yang rutin mangkal di Taman Slamet.
Sejak kecil Ayina sudah akrab dengan berbagai bacaan, terutama novel-novel fantasteen populer. Hobinya makin terdukung semasa bersekolah di SMPN 4 Cileungsi, Bogor. Kata dia, di SMP-nya itu ada program tinjauan (review) buku yang dilakukan para siswa tiap hari Kamis.
Kalau Bedul mengenal Pram dari sebuah podcast sejarah, Ayina justru mengenal Pram dari novel Laut Bercerita garapan wartawan cum novelis Leila S. Chudori.
Novel bertema sejarah Reformasi 1998 itu memang menyebut beberapa aktivis yang kerap bergerilya hanya untuk membaca karya Pram. Mereka digambarkan sebagai sosok-sosok pemuda revolusioner yang terpengaruh oleh karya-karya Pram seperti Bumi Manusia.
Baca juga: Karya Terakhir Ratna untuk Aktivis 1998
Hanya saja, waktu itu untuk membaca karya Pram tak sebebas sekarang. Mereka bisa saja ditangkap atau dituduh sebagai antek maupun aktivis komunis hanya gara-gara ketahuan membawa maupun membaca buku-buku milik tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru (1969-1979), Maluku, tanpa melewati proses peradilan tersebut.
Ayina jadi makin tertarik untuk membaca karya-karya Pram yang lain. Dari puluhan karya-karya Pram yang diterbitkan, Ayina telah membaca beberapa karya Pram, semisal serial Tetralogi Pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988), Percikan Revolusi Subuh (1951), dan kumpulan cerpen Cerita dari Blora (1952).
Dari karya-karya Pram pula Ayina jadi mengenal banyak karya-karya sastra realisme lain. Bahkan dia mulai membaca beberapa karya sastrawan dunia sekaliber Fyodor Dostoevsky dan Leo Tolstoy, misalnya.
“Awalnya cuman baca (novel) serial remaja populer sampai akhirnya baca Pram. Dari situ baca Cantik Itu Luka (karya Eka Kurniawan), terus baca karya sastrawan dunia yang mirip Pram,” kata Ayina.
Permulaan Orde Baru menjadi pukulan telak bagi Pram di jagat kesusastraan Indonesia. Sastrawan legendaris kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, ini dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sejak itu, karya-karya Pram dilarang beredar. Beberapa malah dibakar saat meletusnya peristiwa 1965.
Tapi itu sudah berpuluh tahun silam. Kini, karya-karya Pram kembali pada rel peredarannya di dunia sastra Indonesia. Pembaca muda generasi sekarang bisa bebas memiliki, membaca, bahkan membagikan gagasan yang dibawa Pram.
Alih-alih keberatan karena kerap dianggap bermuatan ideologi kiri, Ayina justru menyadari beberapa hal setelah membaca karya Pram. Ia menyadari hal-hal seperti nilai humanisme, nasionalisme, dan sosialisme yang sebenarnya sudah diajarkan sejak masih kecil. Membaca karya Pram semacam memberi efek yang memicu kesadaran bagi Ayina.
“Kita itu memang sudah diajarkan sejak kecil, tapi kita tidak tahu. Kita belum mendefinisikannya itu saja menurut saya,” terang Ayina.
Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi
Merefleksikan Nasionalisme dan Humanisme
Sembari menunggu sesi diskusi dimulai, kami terus membicarakan sosok Pram di mata pembaca muda. Pram kerap menyebut generasi muda sebagai orang-orang yang memiliki semangat juang dan revolusioner. Ia akan mengacungkan jempol dua—tanda hebat—kepada generasi muda berani yang berani membebaskan diri dari ajaran kebohongan dan kekuasaan yang menindas.
Obrolan kami terjeda sejenak untuk mendengarkan cerita-cerita Pak Soes. Dari jauh lelaki lulusan doktoral Universitas Plekhanov, Moskow, Rusia, itu tampak semakin renta. Usia dan fisik memang boleh dimakan waktu, tetapi malam itu justru Pak Soes bersuara dengan lantang menceritakan kisah-kisah hidup Pram, dirinya, dan keluarganya.
Melihat itu, Bedul sangat terkesan. Acara memperingati Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer begitu diminati banyak golongan yang tak terbatas usia. Ia mengaku memberi apresiasi sebesar-besarnya atas acara yang diselenggarakan Paguyuban Literasi Malang ini.
“Aku kira perlu kita membuka kembali gagasan untuk dipikir lagi karena dalam karya-karya Pram nilai humanis ini bukan cuma kental, tapi juga ajeg (kokoh) betul,” komentar Bedul.
Baca juga: 18 Tahun Aksi Kamisan di Depan Istana Kepresidenan
Bagi Bedul, karya-karya Pram masih relevan dengan zaman sekarang meski bagi sebagian orang tidak begitu. Bedul menyadari karya-karya Pram memang dibangun dengan gagasan yang humanis. Baginya justru karya-karya Pram menjadi sebuah permulaan bagi humanisme dan Pram terbukti sangat nasionalis jika membaca dan memaknai karya-karyanya secara benar dan mendalam.
Bedul berpendapat, “Gagasan Pram mungkin ada yang relevan, ada yang enggak. Tapi semangatnya tetap, ada humanismenya.”
Pendapat Ayina tak jauh berbeda. Dia acap merekomendasikan karya-karya Pram kepada teman-teman sebayanya musabab membaca karya-karya Pram berarti mengenali definisi sebagai “manusia Indonesia”; membaca Pram menjadi sebuah permulaan yang bagus untuk lebih mengenal masyarakat Indonesia melalui sastra.
Hal itu menurut Ayina tak lepas dari konteks proses kreatif karya-karya Pram yang lekat dengan sejarah, realitas, perlawanan, kemanusiaan, dan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme dalam gagasan Pram bukan sebagai nasionalisme ala chauvinistik yang sempit. Ia mengartikan nasionalisme sebagai perjuangan melawan ketidakadilan.
Beberapa karyanya, seperti cerita pendek (cerpen) berjudul Inem yang berasal dari buku Cerita dari Blora, menceritakan betul realitas sosial kemasyarakatan di sekitar Pram. Eksplorasinya atas realita dan pengalaman pribadi membuat karya itu begitu relate bagi pembaca. Cerpen ini salah satu favorit Ayina.
“Setiap karya yang Pram tulis mengandung pelajaran bagi kita sebagai manusia Indonesia. Karena kejujurannya dia (menulis) sebagai seorang manusia Indonesia, dia tidak menutup-tutupi fakta bahwa Indonesia seperti ini itu. (Karya-karya) Pram itu itu jalan hidup setiap orang Indonesia,” ujar Ayina.
Baca juga: PPN 12 Persen Jadi Kado Tahun Baru bagi Kaum Bawah dan Menengah
Perlu Dibaca
“Karena (karya) Pram benar-benar bagus, maka anak muda seperti aku perlu membacanya sebagai landasan berpikir awal,” kata Bedul, saat memaknai seratus tahun Pram.
Karya-karya Pram memang disusun dengan ide-ide nasionalisme. Meminjam istilah Bung Karno, Pram kerap menyebutnya “nation and character building”. Karya-karya Pram juga memiliki cerita sejarahnya masing-masing. Inilah yang membuat karya Pram selalu relevan dibaca generasi muda sekarang.
Pada 6 Februari 2025 menjadi penanda 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Beberapa komunitas literasi di banyak kota merayakan dengan acara-acara diskusi. Selain itu, baru-baru ini sebuah penerbit kenamaan asal Jakarta mengumumkan rencana penerbitan ulang serial Tetralogi Pulau Buru. Kabarnya, dua buku lain juga akan diterbitkan oleh penerbit yang berbeda.
Melihat itu Bedul merasa lega sekaligus khawatir. Alasannya, sejauh ini memang tak mudah mengakses buku-buku lawas karya Pram. Penerbitan ulang seperti Tetralogi Pulau Buru bisa jadi solusi yang bagus. Di satu sisi, ia mengkhawatirkan karya-karya Pram justru akan dikapitalisasi. Jika terjadi, hal ini malah membuat karya-karya Pram sulit dibeli para pecintanya karena harganya jadi mahal.
“Ada satu ketakutan tentang karya Pram. Bukan karena isinya, ya, tetapi lebih pada ketakutan ada pihak-pihak yang menunggangi atau memanfaatkan ide-idenya. Takut kalau buku-buku itu bukan dibeli oleh para pecintanya, tetapi cinta terhadap berhala buku,” ujar Bedul.
Baca juga: Di Kota Malang Terdapat Kios Penjual Ribuan Kaset Pita Bekas
Kendati demikian, Bedul tetap berharap karya-karya Pram bisa dibaca oleh semua orang, termasuk generasi-generasi selanjutnya. Ia juga melihat harapan dan peran penting eksistensi perpustakaan, terlebih perpustakaan jalanan yang kerap memberi akses bacaan karya-karya Pram.
“Aku kira teman-teman kolektif perpustakaan jalanan ada peranan penting dalam memberi akses karya-karya Pram. Harapanku begitu,” katanya.
Menyoal akses, Ayina mengaku kerap meminjam buku Pram dari komunitas Sabtu Membaca. Di komunitas ini dia juga kerap mengikuti agenda close reading seabad Pramoedya. Beberapa karya Pram dibaca dan dibedah secara saksama di sana, termasuk kumpulan cerpen dalam buku Cerita dari Blora, Cerita dari Jakarta, beberapa bagian Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, pidato simposium, sampai esai-esai Pram.
Ayina berharap karya-karya Pram akan terus dibaca oleh semua orang. Pram telah abadi bagi sejarah Indonesia. Membaca Pram berarti mengenali diri kita sebagai manusia Indonesia.
“Karena kalau misalnya tidak ada lagi yang membaca Pram, ya Indonesia bisa dibilang musnah begitu. Karena kita sudah tidak menganggap diri kita sendiri sebagai manusia Indonesia,” ujar gadis ini.
Usai menutup obrolan, Ayina segera kembali ke area panggung utama. Dia menampilkan sebuah monolog spontan di sesi panggung bebas.
Monolognya mengisahkan kondisi generasi Indonesia di masa depan yang mirip dengan kondisi Orde Baru, penuh dengan pembungkaman. Dia terinspirasi oleh pengalaman Pram semasa di penjara Pulau Buru.
Melalui monolog seolah-olah dia ia ingin menyampaikan pesan agar generasi muda memiliki kesadaran untuk berpikir kritis dan berani melawan segala bentuk ketidakadilan sebagai bentuk kecintaan dan nasionalisme yang nyata terhadap Ibu Pertiwi.
Baca juga: Cara Alicia Mencintai Indonesia melalui Lukisan 79 Meter
Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025
One Comment