Mengenal Tiga Sistem Pengelolaan Sampah di TPA

PERAWI, Malang — Pemerintah Kota Malang sudah memiliki tempat pembuangan akhir modern yang bernama TPA Supiturang.
TPA Supiturang yang berdiri di atas lahan 32 hektare berlokasi di wilayah Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, atau berjarak sekitar 7,5 kilometer dari pusat kota.
Modernisasi TPA Supiturang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak 2018, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman melalui program Emission Reduction in Cities–Solid Waste Management (ERIC-SWM).
Namun, Pemerintah Kota Malang belum puas dan berambisi meningkatkan status TPA Supiturang menjadi tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), yang nantinya bisa menghasilkan semen dan digunakan untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), atau produk komersial lain yang bisa meningkatkan pendapatan asli daerah atau PAD.
“Tadi dijelaskan juga oleh Pak Pj. (Penjabat Wali Kota Malang Iwan Kurniawan), disiapkan juga untuk TPST yang nantinya hasil akhirnya diperuntukkan untuk semen dan untuk PLTU yang akan dimulai pada 2026,” kata Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo saat melakukan kunjungan kerja ke TPA Supiturang pada Sabtu, 18 Januari 2025.
Baca juga: Modernisasi TPA Supiturang Dipuji Menteri Pekerjaan Umum
Kota Malang cukup beruntung dibantu Pemerintah Pusat untuk modernisasi TPA Supiturang karena banyak TPA atau landfill di daerah lain sudah kelebihan kapasitas (overload) dan akan ditutup.
Salah satu cara untuk mengelola TPA supaya panjang umur dan tidak merusak lingkungan adalah dengan memperhatikan jenis sistem pengelolaan yang digunakan.
Ada tiga sistem pengelolaan TPA dan mana yang terbaik untuk TPA di Indonesia?
Sistem Open Dumping
Sistem pembuangan terbuka atau open dumping adalah sistem pengelolaan di TPA dengan cara membuang sampah di atas lahan tanpa ada perlakuan apa pun. Hal ini dapat mencemari lingkungan dan kesehatan bagi petugas yang bekerja di TPA atau bahkan warga sekitar.
Sistem open dumping membuat bau sampah menjadi lebih menyengat dan juga gas metana dari sampah dapat membahayakan bumi. Bagi lingkungan, sistem open dumping dapat menjadi sumber polutan bagi air di lingkungan sekitar musabab tumpukan sampah serta air lindi mencemari tanah dan air tanah di dalamnya.
Selain itu, sampah terus menumpuk dan menggunung lebih cepat karena ketiadaan pengelolaan sampah di TPA.
Sistem open dumping menghasilkan dampak negatif yang besar, maka Pemerintah Pusat mewajibkan seluruh TPA meninggalkan sistem open dumping. Larangan ini mengacu pada ketentuan Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pasal 44
(1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 45
Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya Undang-Undang ini wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun.

Sistem Controlled Landfill
Controlled landfill adalah sistem berupa peralihan dari open dumping ke sistem sanitary landfill.
Dengan sistem ini, sampah diolah dengan cara ditimbun, lalu diratakan dan dipadatkan hingga pada waktu tertentu sampahnya ditutup dengan lapisan tanah, dengan tujuan untuk memperkecil dampak yang dapat timbul dan merugikan lingkungan.
Penggunaan sistem controlled landfill dapat mengurangi risiko perkembangbiakan serangga, pencemaran gas metana, bau busuk, sampai kerusakan estetika lingkungan.
Namun, penerapan sistem controlled landfill membutuhkan biaya investasi dan biaya operasional yang lebih besar dibanding sistem open dumping. Maka, sistem controlled landfill cocok diterapkan pada kabupaten maupun kota yang mempunyai anggaran sangat terbatas.
Baca juga: Siswa SMA Ini Minta Presiden Prabowo Subianto Batasi Produksi Plastik
Singkatnya, sistem controlled landfill menjadi solusi tengah untuk menekan besaran biaya dan sekaligus untuk mereduksi pengaruh buruk TPA pada lingkungan dan manusia.

Sistem Sanitary Landfill
Penerapan sistem sanitary landfill pada TPA dilakukan dengan cara menimbun dan memadatkan sampah, lalu ditutup dengan tanah.
Adanya tanah sebagai lapisan penutup membuat TPA dengan sistem sanitary landfill dapat mengurangi dampak buruk sampah terhadap lingkungan dan manusia.
Masalahnya, pengoperasian TPA bersistem sanitary landfill membutuhkan biaya yang lebih besar dari sistem open damping dan controlled landfill. Selain biaya, sistem sanitary landfill membutuhkan persediaan tanah yang cukup untuk menutup timbunan sampah.
Di Indonesia, TPA bersistem sanitary landfill ada di Kota Malang (TPA Supiturang), Kota Jambi (TPA Talang Gulo), Kabupaten Sidoarjo (TPA Jabon), dan Kabupaten Jombang (TPA Banjardowo).
Keempat TPA itu memang dimodernisasi bersama sejak 2018 oleh Kementerian PUPR bersama Pemerintah Jerman. Namun, cuma TPA Supiturang, TPA Jabon, dan TPA Banjardowo yang diresmikan Presiden Joko Widodo. Peresmian dilakukan di TPA Supiturang pada Kamis, 14 Desember 2023.
Presiden Presiden Jokowi menyebutkan, transformasi TPA Supiturang di atas lahan 5,2 hektare menghabiskan anggaran Rp 237 miliar. TPA Supiturang dilengkap dengan sarana dan prasarana pengolahan sampah modern berdaya tampung 450 ton per hari.
TPA Jabon dibangun dengan anggaran Rp 384 miliar dengan daya tampung sampah 450 ton per hari. Sedangkan pembangunan TPA Banjardowo menghabiskan anggaran Rp 203 miliar dan dapat menampung sampah sebanyak 110 ton per hari.
Baca juga: Mahasiswa Pertanian Universitas Brawijaya Buat Pakan Ikan Berbahan Sampah Sayuran
TPA Talang Gulo juga memiliki fasilitas dan teknologi pengolahan sampah yang setara dengan tiga TPA yang diresmikan Presiden Jokowi.
TPA Talang Gulo sudah jadi salah satu proyek percontohan nasional berkat sarana pengolahan air lindi berkapasitas 250 meter kubik per hari; sarana pengolahan sampah organik berkapasitas 35 ton per hari; sarana pengolahan kompos berkapasitas 15 ton per hari, dan bangunan fasilitas penunjang lainnya seperti kantor pengelola, jembatan timbang dan tempat kegiatan lokakarya alias workshop.
Intinya, walau sistem sanitary landfill membutuhkan dana jumbo, tapi sistem ini dianggap paling tepat untuk mengatasi masalah sampah dan sudah jadi standar internasional yang digunakan banyak negara.
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025