Belajar Pancasila dan Kewarganegaraan dari Film Jalan Raya Pos

SEKITAR 50 orang meriung di Local Cafe pada Sabtu kemarin. Mata mereka menatap layar proyektor yang menayangkan film dokumenter Jalan Raya Pos.
Pemutaran film Jalan Raya Pos merupakan rangkaian peringatan 100 tahun usia sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925-30 April 2006) se-Indonesia jika ia masih hidup. Peringatannya di Kota Malang dipusatkan di Local Cafe, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, pada Sabtu-Minggu, 1-2 Februari 2025.
Mereka lalu berdiskusi sehabis pemutaran film. Guru Besar Studi Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Profesor Mundi Rahayu dan dosen sejarah Universitas Ciputra FX Domini BB Hera alias Sisco didaulat jadi narasumber.
Film dokumenter Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg sejatinya diadaptasi dari esai sejarah yang ditulis Pramoedya dengan judul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Film ini diproduksi oleh Pieter van Huystee, produser film kenamaan Belanda, dan disutradarai Bernie IJdis.
Sedangkan Pram menjadi narator utama yang mengisahkan pembangunan Jalan Raya Anyer-Batavia-Cirebon-Surabaya-Panarukan sepanjang 1.000 kilometer pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762-2 Mei 1818).
Baca juga: Saat Mereka Mengenang Sastrawan Pramoedya Ananta Toer
Secara administratif di masa sekarang, jalan raya itu membentang dari wilayah Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten hingga wilayah Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur alias membentang dari ujung barat sampai ujung timur Pulau Jawa.
Dalam film digambarkan bermacam kegiatan masyarakat di masa itu. Beberapa adegan atau skena (scene) menampilkan para petani perempuan, pedagang koran, bakul jamu, dan resepsi pernikahan, seakan-akan mengajak penonton lebih mengenal kehidupan masyarakat di sepanjang jalur pembangunan jalan tersebut—kini kita mengenalnya dengan sebutan jalur pantai utara atau Pantura Jawa.
Saat jalan raya Pantura dibangun, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sudah tamat riwayatnya. Berdiri pada 20 Maret 1602, konsorsium dagang asal Belanda yang menguasai kegiatan niaga di Asia, termasuk Hindia Belanda (nama lama Indonesia), bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Kekalahan Belanda dalam perang melawan Prancis jadi salah satu penyebab kebangkrutan VOC. Belanda mengaku kalah pada 1795 dan raja mereka, Willem Batavus atau William V, digulingkan Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte.
Kemudian, atas perintah Kaisar Napoleon dan Raja Belanda Louis Napoleon, Marsekal Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Timur (1808-1811) untuk mengontrol seluruh koloni VOC.
Daendels membuat pelbagai kebijakan. Satu keputusannya yang terkenal adalah proyek jalan raya Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan ini bertujuan mempercepat mobilisasi militer dari barat ke timur Pulau Jawa untuk menghalau invasi Inggris ke Pulau Jawa.
Profesor Mundi Rahayu mengatakan, pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan juga kuat bermotif sosial-ekonomi.
“Jadi kalau kita mau membahas sebuah (pembangunan) jalan, itu memang analisisnya sosial-ekonomi. Tidak mungkin orang buat jalan itu hanya karena melankolia atau alasan estetik atau apa,” kata Mundi.
Baca juga: Kafe Pustaka, Kafe Literasi Berkonsep Mberot Kebudayaan
Dia menjelaskan, Jalan Raya Pos dibangun mendekati daerah-daerah yang memiliki potensi perkebunan seperti Buitenzorg (Bogor). Kawasan Buitenzorg berada 22 kilometer di selatan Depok.
Wilayah Bogor membentang pada ketinggian minimum 190 dan ketinggian maksimum 330 meter di atas permukaan laut (mdpl) di lereng Gunung Salak. Pembangunan Jalan Raya Pos akan memudahkan akses pengangkutan hasil bumi menuju gudang-gudang pemerintah atau pelabuhan.
Sebelum ada Jalan Raya Pos, akses infrastruktur di Pulau Jawa cukuplah sulit. Tiada jalan penghubung cepat antara Batavia di barat dan Surabaya di timur. Daendels disebut-sebut terinspirasi oleh jalan penghubung Paris-Amsterdam.
Saat pembangunan, Daendels memerintahkan para pekerja paksa pribumi untuk memangkas punggung perbukitan, ya mirip dengan proyek pembangunan jalur lintas selatan (JLS) di masa kini.
Daendels juga bekerja sama dengan para petinggi wilayah setempat. Para pekerja paksa sebenarnya tak membangun keseluruhan Jalan Raya Pos. Di beberapa titik, mereka diperintahkan Daendels untuk melebarkan saja karena sudah ada jalan penghubung sebelumnya. Perbaikan jalan ini misalnya berada di jalan penghubung antara Anyer-Batavia, Batavia-Buitenzorg, dan Rembang-Gresik.
Dioperasikan tahun 1809, Daendels tak hanya memfungsikan jalan raya Anyer-Panarukan untuk mendukung kepentingan ekonomi dan militer, tapi ia juga mengoperasikannya untuk mendukung kegiatan surat-menyurat (korespondensi), makanya jalan raya tersebut pun disebut Jalan Raya Pos.
Hingga sekarang Jalan Raya Pos masih berfungsi sebagai jalan nasional. Di masa Lebaran, misalnya, Jalan Raya Pos menjadi akses utama penghubung arus mudik dari barat ke timur dan maupun sebaliknya.
Genosida Terbesar
Ratusan tahun berlalu. Pembangunan Jalan Raya Pos nyatanya menyisakan polemik kelam. Dalam bukunya, Pramoedya Ananta Toer menyebut jalan ini dibangun di atas kuburan massal pekerja paksa. Banyak dari mereka yang meninggal akibat kerasnya pembangunan Jalan Raya Pos.
Daendels meminta jumlah 1.100 tenaga kerja selama pembuatan jalan di sepanjang ruas Buitenzorg (Bogor) sampai Karangsembung di Cirebon. Ruas jalan ini bermedan paling ekstrem lantaran banyak menembus perbukitan dan gunung. Pram menyebut, untuk menembus daerah Megamendung di Bogor saja ada sekitar 500 pekerja meninggal. Jumlah ini pun diduga telah dikurangi dari jumlah sebenarnya.
Di beberapa titik lainnya para pekerja dilaporkan tewas bukan hanya karena kelelahan menembus medan yang ekstrem, tapi juga akibat diperlakukan kasar dan mengindap malaria. Kondisi ini terjadi saat pembangunan ruas Demak-Kudus untuk menembus Semenanjung Muria di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Baca juga: Ratna Indraswari Ibrahim Melawan Perusakan Lingkungan lewat Sastra
Banyaknya pekerja tewas tak membuat Daendels goyah. Ia bergeming meneruskan pembangunan Jalan Raya Pos kendali angka kematian pekerja justru meningkat. Pramoedya mengutip laporan dari Inggris yang menyebut pembangunan Jalan Raya Pos telah mengorbankan 12.000 jiwa.
Jumlah korban tewas itu menjadi jumlah korban genosida terbesar pada masa kolonial Hindia-Belanda.
Selain pembangunan Jalan Raya Pos, proyek tanam paksa Cultuurstelsel pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch yang berlangsung sepanjang 1830-1870 juga mengakibatkan antara 3.000 sampai 5.000 pekerja tewas di Grobogan.
Sisco menyebut, masih ada genosida lain selama era kolonial yang tidak pernah diketahui pasti jumlah korban jiwanya.
Ia mencontohkan genosida di Banda Neira (sekarang masuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah), pembantaian massal Kalimantan Barat—dikenal sebagai Peristiwa Mandor—oleh pasukan Jepang pada 1944, serta kekejaman pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Westerling di Sulawesi Selatan pada 1947.
“Dugaan genosida dalam proses pembangunan Jalan Raya Pos seharusnya bisa diungkap dan digugat secara hukum,” kata Sisco.
Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi
Tentu saja proses hukumnya akan sangat sulit mengingat kejadiannya sudah berlalu lebih dari 200 tahun atau 2 abad dan tentu saja membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Proses pengungkapannya pasti membutuhkan ekskavasi (penggalian) yang sangat sukar untuk membuktikan adanya kuburan massal di sepanjang Jalan Raya Pos.
“Bisa jadi makam itu banyak, tetapi ya harus ada pendekatan ilmiah dan eskavasi. Sekarang pengadilan Mahkamah Belanda itu rajin sekali membuka kejahatan masa lalunya,” kata Sisco, alumni Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang.
Selain menyoal korban jiwa, pembangunan Jalan Raya Pos juga menimbulkan dugaan korupsi yang dilakukan para pejabat wilayah setempat. Sisco mengutip tulisan Pramoedya, para pekerja Jalan Raya Pos diberi jatah beras dan garam. Khusus pembangunan di wilayah Cianjur-Sumedang, para para pekerja dijatah 1.25 pon beras per hari dan 5 pon garam per bulan.
Pram pun menyebutkan Daendels mengeluarkan biaya sekitar 30.000 ringgit untuk pembangunan jalan di wilayah Batavia dan Priangan. Uang sebanyak ini diberikan Daendels dalam bentuk kertas kredit.
Kerja rodi itu menggunakan propaganda untuk merekrut pekerja. Mereka dijanjikan mendapat bayaran, tapi lama kelamaan justru pembayaran upah para pekerja kian tidak jelas.
“Ternyata memang ada gelontoran uang dana yang diberikan kepada para pimpinan daerah setempat terus turun ke demang dan seterusnya. Tapi uang itu nyampe nggak ke pekerjanya? Beberapa penelitian terakhir menyebut nggak sampai itu dana kepada pekerja. Jadi ada korupsi, padahal banyak orang meninggal,” kata Sisco.
Selain upah, kata dia, mobilisasi pekerja juga tidak jelas. Alih-alih diperkerjakan untuk membangun Jalan Raya Pos, banyak dari mereka malah dikirim ke Pulau Sumatera dan luar negeri sebagai kuli kontrak di bawah regulasi Koelie Ordonnantie atau Ordonansi Kuli.
Bukan Hanya Jalan Raya Pos
Di beberapa scene film tampak seorang Pram tak hanya membicarakan sejarah pembangunan Jalan Raya Pos. Sastrawan yang sangat dimusuhi rezim Orde Baru ini sesekali menceritakan kelamnya masa-masa ia menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Maluku, sepanjang 1969-1979 tanpa melewati proses peradilan.
Pram menjadi sosok sastrawan sekaligus sejarawan. Karya-karyanya yang dikenal dengan aliran realisme sosialis kerap menceritakan realitas rakyat kelas tertindas. Ia memadukan sastra dengan cerita sejarah.
Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels misalnya, bukan hanya menceritakan pembangunan Jalan Raya Pos. Setiap bagian bukunya memiliki spesifikasi karakter masyarakat, serta cerita sejarah dari kota-kota yang dilewati pembangunan Jalan Raya Pos.
Profesor Mundi Rahayu menegaskan memang film itu mengusung isu besar pembangunan Jalan Raya Pos, namun Pram sebagai tokoh utama dalam film justru memberi kesaksian bagaimana nasib masyarakat Indonesia semasa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru (1967-1998), Pram menjadi seorang dari ribuan tahanan politik. Pram dipenjara akibat keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, lembaga kebudayaan yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Bukan hanya diasingkan ke Pulau Buru, semua karya Pram pun diharamkan beredar.
Baca juga: 18 Tahun Aksi Kamisan di Depan Istana Kepresdenan
Saat Orba berkuasa, siapa pun warga negara Indonesia bisa dipenjara tanpa proses peradilan hanya ketahuan membawa, apalagi membaca, buku-buku karya Pram. Padahal, karya-karya Pram sarat muatan sejarah dan kuat karakter kebangsaannya.
Ada satu adegan cukup menarik dalam film Jalan Raya Pos, saat Pram mengaku tidak risau atau gusar sekali mendapati karya-karyanya dilarang beredar musabab karya-karya dia justru diterbitkan dan laku di luar negeri, seperti Inggris, Amerika, dan Australia.
“Jadi,” Profesor Mundi Rahayu menekankan, “menurut saya generasi muda hari ini bisa belajar sejarah bangsa dan kebangsaan Indonesia dari karya-karya Pram. Orang-orang di luar negeri sana pada mempelajarinya lho. Masak orang-orang Indonesia sendiri enggak mempelajarinya.”
Mundi dan Sisco sepaham, andai dipelajari dengan saksama, karya-karya Pramoedya Ananta Toer juga mengajarkan makna hakiki Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan, tentang nasionalisme dan cinta pada Tanah Air melalui karya sastra yang tidak menggurui, doktriner, dan dogmatis.
Baca juga: Cara Alicia Mencintai Indonesia melalui Lukisan 97 Meter
Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025