Pers Mahasiswa Bukanlah Anak Tiri Perguruan Tinggi

PERAWI.CO, Malang — Sekitar 30 pegiat pers kampus yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang tekun menyimak uraian Eko Widianto tentang masa depan jurnalisme.
Jurnalis senior yang juga mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang itu berkeyakinan jurnalisme tetap panjang umur asalkan para pelakunya mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi komunikasi, disertai dengan kerja-kerja jurnalistik berkualitas, profesional dan independen, dan kemampuan mencari sumber pendapatan selain iklan untuk menghidupi perusahaan pers dan para pekerjanya.
Diskusi publik bertema “Matinya Jurnalisme” itu bagian dari rangkaian kegiatan pameran karya anggota PPMI Kota Malang yang diadakan di lantai empat Gedung Malang Creative Center (MCC), pada Jumat-Sabtu, 13-14 Desember 2024. Pameran bertajuk “Merdeka dari Bayang Represi” ini melibatkan lembaga pers mahasiswa (LPM) dan unit kegiatan pers mahasiswa dengan jumlah seluruhnya 14 organisasi.
Ketua Panitia Pelaksana Pameran Naufal Hafizh mengatakan, pameran bertujuan untuk merayakan kebebasan berekspresi pers mahasiswa yang dalam beberapa tahun terganggu. Pihak rektorat acap memandang remeh pers kampus sebagai anak tiri meski keberadaan mereka sah dan sudah ada sejak Indonesia merdeka, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga sekarang.
“Pihak rektorat sering menganggap kami ini antara ada dan tiada. Bahkan, di beberapa kampus, persma (pers mahasiswa)-nya sering ditekan secara struktural agar jangan terlalu kritis terhadap kebijakan dan kinerja rektorat dan fakultas,” kata Naufal, Sabtu malam, 14 Desember 2024.
Posisi pers mahasiswa saat ini cukup rentan. AJI Indonesia mencatat kemunculan kasus ancaman terhadap jurnalis mahasiswa di pelbagai kampus sepanjang 2019-2023. Ancamannya dalam bentuk pelarangan publikasi, pembubaran diskusi, penundaan pencairan dana operasional LPM maupun unit kegiatan pers mahasiswa, hingga dilaporkan ke polisi.
Kerentanan pers mahasiswa berakar dari nihilnya payung hukum yang melindungi mereka. Memang sudah ada nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Dikbudristek) tentang Penguatan dan Pengelolaan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dapat dianggap sebagai bentuk perlindungan bagi pegiat pers mahasiswa, tapi nota kesepahaman bertanggal 18 Maret 2024 itu tidak berkuatan hukum sehingga tidak efektif untuk mencegah tekanan struktural dari pihak rektorat maupun fakultas.
Baca juga: Aktivis di Kota Malang Suarakan 14 Tuntutan Saat Penutupan Kampanye 16 HAKTP
Kata Naufal, para pengunjung diajak untuk mendalami peran pers mahasiswa melalui foto, poster, dan majalah-majalah dipamerkan. Perawi melihat banyak barang pameran yang bermuatan humanis dan kritisnya pers mahasiswa terhadap kebijakan kampus, kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat yang terpinggirkan.
“LPM (lembaga pers mahasiswa) bukan sekadar produsen informasi, tapi juga aktor perubahan yang sering mengkritisi situasi sosial, budaya, hingga politik kampus,” ujar Naufal, Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar Universitas Negeri Malang.
Sekretaris Jenderal PPMI Kota Malang Delta Nishfu sependapat dengan Naufal. Kata Delta, terdapat 11 majalah LPM edisi terbaru dalam bentuk cetak dan digital yang dipamerkan, ditambah 10 karya fotografi dan ilustrasi. Puluhan arsip jadul majalah LPM pun turut dipajang, plus film dokumenter karya LPM dua tahun terakhir.
“Ada kliping berita indepth-feature terpilih dalam rentang dua tahun terakhir. Majalah yang cetak kebanyakan diambil dari arsip-arsip LPM. Pameran ini jadi bukti kami masih eksis,” kata Delta, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
Selain pameran dan diskusi, kegiatan itu juga diisi dengan bincang-bincang tentang proses kreatif LPM, serta panggung bebas orasi dan seni.
4 Comments