|

Ratna Indraswari Ibrahim Melawan Perusakan Lingkungan lewat Sastra

ratna indraswari ibrahim
Sosok pejuang linkungan Ratna Indraswari Ibrahim dengan sejumlah kisah uniknya. Foto: bbc.com

PERAWI.CO, Malang — Ratna Indraswari Ibrahim dikenal sebagai sastrawan dengan keterbatasan fisik tetapi tidak terbatas pada ide-ide di kepalanya. Perempuan itu kerap memasukkan realitas-realitas sosial sekitar ke dalam karya sastra.

Aktivitasnya dalam berbagai gerakan sosial telah memengaruhi corak dan pola keberpihakan karya-karyanya. Novel Lemah Tanjung misalnya. Melalui karya sastra itu, ia berusaha merekam secara kisah nyata perjuangan masyarakat Kota Malang dalam melawan perusakan lingkungan.

Situasi politik nasional memanas menjelang reformasi 1998. Di Jakarta, aksi demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menuntut mundurnya presiden Soeharto berbuntut penculikan belasan aktivis saat itu. Krisis moneter dan ketidakstabilan perekonomian juga merembet pada kekerasan etnis. Peristiwa ini menyebabkan Paul, suami Gita, merasa tidak aman tinggal di Indonesia. Ia memilih pindah ke Australia menyusul kakaknya. Paul merasa situasi di sana lebih kondusif untuk menjalani kehidupan. Sejak berpisah dengan Paul, Gita hanya tinggal bersama buah hatinya, Bonet, di kediaman orang tua Gita. 

Suatu ketika, Bonet berkata kepada Gita, ia ingin melihat kunang-kunang. Di masa itu, kunang-kunang bukanlah serangga yang mudah ditemukan. Penyebabnya bisa jadi faktor pencemaran yang mengganggu habitat serangga bercahaya itu.

Kegembiraan hati Gita dan Bonet bukan main saat mengetahui masih ada kunang-kunang di Lemah Tanjung, sebuah hutan kota yang berada dalam areal Akademi Penyuluh Pertanian (APP) Kota Malang. Sayangnya, saat Gita datang ternyata daerah itu sedang mengalami sengketa lahan. Dari situlah Gita pada akhirnya Gita bertemu dengan para pejuang yang mempertahankan lingkungan Lemah Tanjung. 

Lemah Tanjung yang memiliki luas 28,7 hektar terancam lenyap oleh rencana ruilslag (tukar guling). Departemen Pertanian bersama pengembang perumahan menjadi aktor kunci di balik konflik ini. Mereka hendak menukar guling tanah APP yang terletak di Kelurahan Tanjungrejo dengan tanah di daerah Bedali, Kecamatan Lawang. Pengembang perumahan akan mengalihfungsikan tanah APP, termasuk area hutannya, menjadi perumahan elit. Rencana tukar guling dianggap hanya menguntungkan segelintir orang kaya dan merugikan masyarakat serta keseimbangan ekologis. Sebab area itu memiliki ragam biodiversitas mulai dari tumbuhan langka sampai sumber air yang memiliki fungsi vital bagi ekologis Kota Malang. 

Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi

Begitulah Ratna Indraswari Ibrahim membuka cerita novel Lemah Tanjung. Sastrawan, cerpenis, sekaligus budayawan asal Kota Malang itu mengangkat kisah nyata perlawanan masyarakat Kota Malang dalam mempertahankan hutan Lambau, nama asli dari Lemah Tanjung.

Ratna dan Lemah Tanjung. Mengingat keduanya berarti mengingat perjuangan masyarakat Kota Malang dalam merebut keadilan lingkungan. Begitulah Titik Qomariyah, salah seorang teman dekat Ratna memaknai novel Lemah Tanjung. Perempuan yang akrab dipanggil Shincan itu menceritakan proses kreatif novel Lemah Tanjung. Ia cukup banyak tahu tentang proses kelahiran Lemah Tanjung. Terlebih ia juga terlibat dalam proses pengetikan naskah novel itu.

Sejak kecil, Ratna mengidap penyakit rakitis. Kedua tangan dan kaki yang tak berfungsi optimal membuat mobilitasnya bergantung pada kursi roda. Meski begitu, keterbatasan fisik sama sekali tak menghambat pemikiran kreatif-progresif perempuan kelahiran 1949 itu.

Orang-orang mengenal Ratna sebagai sosok yang gemar diskusi dengan berbagai kalangan. Perbedaan latar belakang tak menjadi batasan baginya untuk bertukar isi kepala. Dengan para asisten dan teman-temannya misalnya. Cara ia mengolah ide yang selalu melibatkan orang lain secara tak langsung juga menularkan pemikiran kritis kepada orang-orang sekitarnya. 

Ratna selalu dibantu asisten untuk mengetik. Otaknya berpikir, mulutnya berbicara, dan jari jemari asistennya yang mengetik. Ratna melakukan itu bak seseorang yang membacakan dongeng. Teman-teman Ratna juga kerap membantunya untuk mengetik. 

“Mbak Ratna itu nggak pernah nulis [mengetik]. Jadi dia yang ndongeng, kita yang mengetikkan. Dan yang ngetik itu nggak hanya satu orang,” lanjut Titik.

Saat itu, Indonesia baru saja bebas dari rezim otoriter Soeharto. Meski begitu, perjuangan masyarakat melawan kekuatan elit kapital tidaklah mudah. Sedari awal, Ratna menyadari bahwa perjuangan itu akan kalah. Untuk itu, ia mengabadikan perjuangan kasus ini ke dalam sebuah karya sastra. Karya sastra menjadi jalan bagi Ratna untuk merekam perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hutan kota Lambau. 

Baca juga: Kafe Pustaka, Kafe Literasi Berkonsep Mberot Kebudayaan 

“Karena dia [Ratna] tahu [perjuangan] kita akan kalah dalam perjuangan realistis dan dia melakukan perjuangan lewat tulisan. Bukan hanya perjuangan lewat tulisan ya, tapi kalau menurut saya dia mengarsipkan bahwa di Malang itu ada Lambau,” ujar Titik saat ditanya alasan Ratna menulis novel Lemah Tanjung.

Ratna Indraswari Ibrahim, 20 Januari 2003. © PERAWI/Abdi Purmono
Banjir dan Krisis RTH 

Bertahun-tahun Kota Malang begitu memikat para perantau terutama untuk menempuh pendidikan. Dulu, orang-orang mengenal kota ini dengan hawa dinginnya. Selain itu, pemandangan yang asri juga menjadi opsi wisatawan untuk melepas penat di masa liburan. Naas, keindahan ini perlahan kabur hingga pasca dua dekade novel Lemah Tanjung lahir. Berbagai permasalahan lingkungan telah menghantui masyarakat Kota Malang.

Persoalan banjir misalnya. Tahun 2022 lalu, Aliansi Selamatkan Malang Raya merilis sebuah catatan kritis terkait bencana banjir di Kota Malang. Catatan itu menyebutkan banjir terjadi sebanyak 209 kali di 18 titik rawan yang tersebar di lima kecamatan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang menyebut faktor tata guna lahan, kurang berfungsinya sungai, drainase, dan saluran air menjadi penyebab utama banjir. Curah hujan yang tinggi juga menjadi faktor penyebab makin banyaknya titik banjir.

Bencana ini justru meningkat di tahun 2023. Data infografis BPBD menyebutkan angka bencana banjir sebanyak 224 kali. Banyaknya titik banjir di Kota Malang nampaknya belum membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Malang berbenah dengan optimal. 

Memasuki tahun 2024 Kota Malang kembali kedatangan tamu siklus banjir tahunan. Berdasarkan rekapan data BPBD Kota Malang, banjir terjadi secara merata di bulan-bulan awal dan akhir tahun. Hingga bulan September saja banjir sudah terjadi sebanyak 139 kali di titik-titik langganan banjir. Beberapa bencana hidrometeorologi lain seperti tanah longsor di sempadan sungai dan ancaman krisis iklim skalamikro (microclimate) juga membuntuti permasalahan lingkungan di Kota Malang. 

Banjir juga tak luput dari kondisi krisis ruang terbuka hijau (RTH). Saat ini Kota Malang hanya memiliki 17,37% RTH. Sementara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur bahwa standar RTH di wilayah perkotaan paling tidak 30% daripada luas wilayahnya. 

Baca juga: 18 Tahun Aksi Kamisan di Depan Istana Kepresidenan

Ratna telah mengecam dua persoalan ini dalam novel Lemah Tanjung. Di sana, ia memunculkan tokoh fiksi bernama Ilham yang mengatakan Kota Malang akan mengalami banjir jika mereka membangun beton di area Lambau.

Perlu diketahui, selain memiliki biodiversitas yang beragam, Lambau juga merupakan area resapan air (buffer zone). Perkara ini lah yang menyebabkan masyarakat dulu benar-benar mempertahankan hutan kota daripada merelakan area itu untuk kepentingan bisnis semata. Terlebih beberapa titik rawan banjir berada di sekitar bekas Lambau.

Ratna Indraswari Ibrahim juga menyinggung persoalan RTH dalam penggalan cerita novel Lemah Tanjung. Saat itu, baru saja masyarakat Kota Malang kehilangan taman Indrokilo, sebuah lahan resapan di belakang Museum Brawijaya yang sekarang telah menjadi perumahan elit. Alih fungsi lahan resapan menjadi cor-cor beton perumahan tampak makin masif memasuki tahun 2000-an. Padahal, selain memiliki fungsi stabilitas lingkungan sebagai resapan air, RTH juga menjadi fasilitas publik yang memiliki value sosial.

Sebagai warga Kota Malang, Titik turut mengomentari permasalahan banjir sebagaimana telah Ratna singgung. Menurutnya, permasalahan yang terjadi hari ini tak terlepas dari tata kota yang berubah drastis.  Lambau memiliki kontur tanah yang lebih tinggi daripada daerah sekelilingnya sehingga daerah itu menjadi area resapan air secara alami. Artinya, Lambau benar-benar telah dipersiapkan dan dijaga sebagai area resapan air.

“Sejak zaman kolonial [Belanda] mereka sudah riset. Ini daerah resapan air. Posisinya agak di atas. Kalau daerah resapan air sudah ditutupi beton semua terus sampai akhirnya ke mana? Sementara pembangunan Pemkot [Malang] gak mikir sampai sana,” terang Titik.

Bagi Titik, kesejahteraan manusia bukan hanya perihal ekonomi, tetapi juga kenyamanan. Hari ini, area resapan seperti Lambau telah menjadi perumahan elit. Benar saja, tiap kali hujan deras mengguyur Kota Malang, daerah sekitar Lambau menjadi langganan banjir. Seakan-akan novel Lemah Tanjung telah memprediksi bencana ini sejak dulu. 

“Kesejahteraan manusia bukan hanya ekonomi, tapi juga kenyamanan hidup. Akhirnya beneran, tanah itu dibeton, ditutup, ya gak salah air meluber. Itu daerah resapan air loh, dihabisi sakmono gedene. Sekarang salah kalau airnya cari daerah resapan sendiri? Dan itu memang sudah riset,”  kata Titik menegaskan.

Terkait prediksi ini, Ratna memang telah melakukan riset. Ratna yang memiliki teman dari berbagai kalangan termasuk aktivis dan akademisi lingkungan tak menyia-nyiakan hal itu. Ratna kerap melibatkan pemikiran orang-orang itu dalam proses kreatifnya. Melalui cerita dari temannya, seringkali ia jadikan sebagai bahan untuk karya yang ia buat. Dengan cara inilah Ratna melakukan riset.

“Dia itu kalau melakukan riset pasti lewat teman-teman yang datang. Teman-teman yang datang itu dari berbagai kalangan dan berbagai kelas masyarakat,” tambah Titik.

Kepada Siapa Sastra Berpihak?

Pada 29 Maret 2011, banyak laman media nasional memberitakan kabar kematian Ratna. Sang pejuang sastra itu tutup usia satu hari sebelumnya di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA).

Ratna mungkin meninggalkan keluarga, teman, kursi roda, dan karya-karyanya untuk selamanya. Tubuh fisiknya memang tak lagi bersama mereka, tetapi jiwa dan semangat perlawanannya tetap mengakar di rekan-rekan seperjuangannya.

Sebagai seorang aktivis, budayawan, sekaligus sastrawan, Ratna telah dikenang dengan upayanya merekam perjuangan masyarakat Kota Malang dalam novel Lemah Tanjung. Ratna meninggal saat denyut semangat masyarakat Lambau benar-benar meredup. Meski begitu, perjuangan itu bukan berarti kalah. 

Membicarakan Lemah Tanjung membawa Titik kembali ke masa saat ia turut berjuang bersama Ratna, Bu Hindarsih, Pak Rahmat, dan para pejuang lainnya. Ia mencoba mengingat kembali nama-nama tokoh fiksi yang mengadaptasi dari tokoh-tokoh nyata. Sesekali sorot matanya menyaratkan ia sedang merenungi sesuatu.

Ratna menulis novel Lemah Tanjung selang lima tahun setelah reformasi. Meski rezim otoriter orde baru telah tumbang, bukan berarti memperjuangkan ketidakadilan akan mudah. Ratna tahu perjuangan mereka akan kalah, tetapi ia tetap berusaha merekam segala bentuk perjuangan masyarakat yang telah bertahun-tahun menolak perusakan lingkungan itu. 

Sebagai bagian dari Forum Lemah Tanjung (Forlet), Ratna kerap turun langsung di berbagai aksi demonstrasi. Bahkan Ratna juga merelakan rumahnya di Jalan Diponegoro nomor 3 menjadi tempat berkumpul para aktivis masa itu. Tak jarang pula intel-intel kepolisian menyatroni rumah pribadinya. 

Baca juga: Di Kota Malang Terdapat Kios Penjual Ribuan Kaset Pita

Bagi Titik, di situlah letak keberpihakan Ratna kepada perjuangan Lemah Tanjung. Ia bukan hanya memperjuangkan kemanusiaan, tetapi juga keadilan lingkungan. Melalui novel Lemah Tanjung, ia ingin mengabarkan bahwa di masa lalu, masyarakat Kota Malang pernah mati-matian memperjuangkan tanahnya. Lingkungan dan orang-orang kalah, kepada mereka lah Ratna berpihak.

“Sastra selalu berpihak pada orang yang lemah, ya. Orang yang kalah. Lalu Ratna Indraswari Ibrahim itu juga menjadi bagian Forlet,”

“Sejak awal dia tahu bahwa perjuangan ini akan kalah. Dalam kondisi seperti itu dia berpihak kepada lingkungan. Jadi bukan hanya manusianya, tetapi juga lingkungan,” kenang Titik merenungi perjuangan Ratna.

Kini, setelah dua dekade lebih novel Lemah Tanjung terbit, kabar-kabar kemenangan seakan berangsur-angsur menghampiri. Kabarnya, ada sebuah penerbit yang sedang memproses penerbitan kembali novel-novel Ratna, termasuk Lemah Tanjung. Penerbitan kembali novel Lemah Tanjung membuat Titik percaya bahwa perjuangan tak sepenuhnya kalah. 

Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025

 

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *