| |

Puluhan Pelajar SMPN Kota Malang Sengaja Melukai Diri Sendiri

Kesehatan mental

PERAWI.CO, Malang — Sebanyak 60 orang pelajar sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di Kota Malang sengaja melukai diri sendiri atau self-harm.

Data ini diperoleh empat mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang melakukan penelitian kesehatan mental di kalangan pelajar dua SMPN Kota Malang selama Mei-Juli 2024. Masing-masing sekolah berada di wilayah Kecamatan Lowokwaru dan Kecamatan Kedungkandang.

Tim beranggotakan tiga mahasiswa semester V (Wahyuddin Fahrurrijal, Maulidatul Aisyah, dan Anisa Nur Akhidah, serta seorang mahasiswa semester III bernama Ramadani Nur Pratiwi, dengan dosen pendamping Ahmad Sulaiman. Wahyuddin Fahrurrijal alias Wahyu jadi koordinator tim.

Wahyuddin mengatakan, tindakan menyakiti diri sendiri di kalangan pelajar di Indonesia, termasuk di Kota Malang, semakin bertambah dan sangat mengkhawatirkan. Bukan sekadar menyakiti atau melukai diri sendiri, kecenderungan pelajar untuk mencoba bunuh diri pun meningkat. Kondisi ini jadi masalah kesehatan mental atau mental health sangat serius yang harus sungguh-sungguh ditangani oleh pemerintah, orang tua, lembaga pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya.

“Harus ada deteksi dini oleh kita bersama supaya mereka terselamatkan dan berkembang jadi pribadi dengan versi terbaik dirinya masing-masing,” kata Wahyuddin kepada Perawi.co pada Jumat malam, 13 Desember 2024.

Riset mereka berjudul “Melangkah tanpa Luka: Efektivitas Butterfly Hug Therapy dalam Peningkatan Self Acceptance terhadap Fenomena Self Harm pada Pelajar di Malang.”

Ditemani guru BK (bimbingan konseling), Wahyuddin dan kawan-kawan menyebarkan kuisoner. Total, ada 234 pelajar kelas 1 dan kelas 2 dari dua SMPN yang mengisinya. Lalu tim Wahyuddin mengambil 60 siswa, masing-masing 30 orang dari tiap SMPN, untuk dijadikan sampel atau responden penelitian. Hampir 100 persen responden berjenis kelamin perempuan dan berjilbab.

Hasilnya, seluruh siswa pernah dan masih bertindak self harm dengan cara melukai bagian anggota tubuh. Kebanyakan responden memakai pisau cutter untuk mengiris area pergelangan tangan hingga menyerupai gambar batang kode atau “barcode korea” yang sedang tren di kalangan anak muda.

Sebagian kecil lagi menggunakan silet cukur untuk bikin goresan yang tidak beraturan di bagian lengan. Tapi goresan ini dan barcode koreanya tidak kelihatan karena pelaku perempuan berpakaian lengan panjang dan pelaku pria sengaja menutupinya dengan jaket, baju lengan panjang, atau pakai cara lain supaya tak ketahuan orangtua dan anggota keluarga lainnya.

Menurut Wahyuddin, sekitar 70 persen responden hanya mengikuti tren bikin barcode korea lewat media sosial (medsos) untuk menunjukkan kegalauan dan mendapatkan perhatian dari banyak orang. Mereka merasa terisolasi dan gampang cemas.

Sisa 30 persen responden mengaku tindakan self harm dipicu oleh masalah keluarga—orangtua sibuk, orangtua bertengkar, dan orangtua yang ingin bercerai—serta perundungan (bullying) maupun tekanan sosial lain di lingkungan teman sebaya.

“Kebanyakan, motif pelaku yang 30 persen adalah mereka tertekan dan kesepian. Mereka sangat membutuhkan kasih sayang orangtua. Kondisi ini juga ditemukan guru-guru BK di tiap SMPN yang kami teliti. Namun, paparan medsos jadi faktor yang dominan mempengaruhi self harm,” ujar Wahyuddin.

Secara umum, seluruh responden merasa terisolasi dan cemas. Mereka mengalami overthinking dan insecure, berpikir terlalu banyak tentang sesuatu dengan cara yang salah dan merasa tidak aman dalam kehidupan. Dalam ilmu psikologi, kondisi overthinking dan insecure saling berhubungan.

Lalu, dengan dibantu guru BK, Wahyuddin dan kawan-kawan melakukan asesmen untuk mengatasi tindakan self harm. Mereka membagi 60 pelajar dalam dua kelompok, yakni kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

Responden yang berada dalam kelompok kontrol hanya diamati, tidak menerapkan terapi pelukan kupu-kupu. Sedangkan pelajar di kelompok eksperimen diberi terapi “pelukan kupu-kupu” atau butterfly hug. Pengamatan dan terapi dilakukan selama tiga hari.

Dalam jagat psikologi, pelukan kupu-kupu adalah latihan terapeutik yang bisa membantu mengatasi kecemasan, stres, dan perasaan kewalahan. Metode ini sudah sangat dikenal sebagai bentuk stimulasi mandiri untuk meredam rasa cemas berlebihan atau emosi yang meledak-ledak—merelaksasi tubuh dan pikiran manusia.

Terapi butterfly hug berasal dari suatu bentuk terapi yang bernama eye movement desensitization reprocessing (EMDR), yaitu penanganan kesehatan mental yang melibatkan gerakan mata dengan cara tertentu untuk memproses kenangan traumatis.

Teknik pelukan kupu-kupu gampang dilakukan. Seluruh siswa diminta menyilangkan kedua tangan di depan tubuh dan memeluk bahu sendiri. Mereka kemudian diminta menutup mata secara perlahan sambil mengatur napas berteknik 4-4-4 (tarik napas dalam 4 detik, tahan selama 4 detik, dan hembuskan selama 4 detik). Proses ini dapat dilakukan berulang-ulang sampai individu merasa lebih tenang dan nyaman.

Wahyuddin menyatakan butterfly hug terbukti efektif pada kelompok eksperimen dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Pelajar dalam kelompok eksperimen bisa lebih menerima kenyataan dan berdamai dengan diri sendiri (self-acceptance). Terapi ini kemudian diterapkan juga pada kelompok kontrol.

Hasilnya, kata Wahyuddin, “Mereka semua lebih bisa bersikap positif dan terbuka hingga berani berhenti melukai diri sendiri dan janji tidak berlebihan bermedsos.”

Tim Mahasiswa Psikologi UMM
Tim mahasiswa Psikologi UMM bersama dosen pembimbing. Foto dokumentasi Humas UMM.

Aisyah menambahkan, ide riset Wahyuddin dan kawan-kawan berasal dari serial drama televisi Korea yang berjudul It’s Okay to Not Be Okay (2020). Drama ini berkisah tentang Moon Kang Tae, Moon Sang Tae, Ko Moon Young yang punya trauma masa lalu. Kang Tae dan Sang Tae adalah dua bersaudara. Banyak yang merasa kasihan pada Kang Tae karena harus menghabiskan sisa hidupnya merawat Sang Tae yang memiliki keterbatasan mental.

Semula, Wahyuddin dan kawan-kawan lebih dulu menemukan fenomena self harm di kalangan pelajar. Tapi mereka belum menemukan tindakan solutif untuk mengatasinya sampai akhirnya seorang anggota tim teringat pada teknik terapi butterfly hug yang ditampilkan dalam serial drama Korea itu.

“Teknik butterfly hug yang mirip meditasi ini kami adaptasi sebagai solusi alternatif bagi pelajar di Malang yang melakukan self harm akibat tekanan dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan,” kata Aisyah.

Hasil riset mereka jadikan materi Program Kreativitas Mahasiswa-Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) yang kemudian diikutkan dalam lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta Tingkat Nasional (Pimtanas). Ajang lomba karya ilmiah ini diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PURSPRESMA PTMA) dan tim mereka meraih juara ketiga pada 23 November 2024.

Berdasarkan hasil riset itu, Aisyah bersama Wahyuddin dan kawan-kawan merekomendasikan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lain, Pemerintah Kota Malang dan pemangku kepentingan lainnya untuk menerapkan terapi butterfly hug bagi para pelajar yang gangguan kesehatan mental, khususnya bagi mereka yang suka melukai diri sendiri.

Rekomendasi itu disertai dengan memperbanyak modul pelatihannya, serta penyebaran poster tentang kesehatan mental dan pentingnya peran keluarga dan orang tua untuk mencegah terjadi perilaku self harm dan sejenisnya.

COPYRIGHT © PERAWI.CO 2024

 

11 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *