Macan Tutul Hitam Mendominasi Kawasan Timur dan Selatan Hutan TNBTS

Macan kumbang. © BBTNBTS

PERAWI, Malang — Sembilan orang pria bergegas memasuki wilayah hutan bagian timur dan selatan Kabupaten Lumajang yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada awal Agustus 2024.

Mereka berpacu dengan waktu agar tidak terlalu kesiangan atau kesorean supaya pemasangan kamera jebak atau camera trap untuk survei macan tutul (Panthera pardus melas) berlangsung lancar sesuai rencana.

Mereka terdiri dari tiga petugas TNBTS (Koestriadi Nugra Prasetya, Rio Widodo, dan Satukin), tiga anggota Yayasan SINTAS Indonesia, plus tiga warga lokal.

Menurut Koestriadi, pemasangan kamera jebak dilakukan di wilayah kerja 6 resor pengelolaan taman nasional atau RPTN di wilayah timur dan selatan dengan total 40 unit kamera.

Balai Besar TNBTS membawahi 12 RPTN. Koestriadi masuk tim pemasang kamera jebak di dua resor, yakni RPTN Candipuro dan RPTN Pasrujambe.

Luas wilayah kerja kedua RPTN masing-masing 2.851 hektare dan 4.787 hektare sehingga luas keseluruhan 7.538 hektare atau 15,19 persen dari total 50.276 atau 502,76 kilometer persegi luas TNBTS.

“Aku ikut pasang kamera di dua resor. Tim pemasang camera trap di empat resor lain beda orangnya,” kata Koestriadi, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) kepada Perawi, Jumat, 24 Januari 2025.

Baca juga: Banteng Jawa Kembali Menghuni Cagar Alam Pananjung

RPTN Candipuro dan RPTN Pasrujambe terpisah jarak sekitar 10 kilometer jika diukur pakai garis lurus. Secara geografis, kontur wilayah kerja kedua resor lebih rendah dan berdekatan dengan kawasan pesisir selatan Kabupaten Lumajang.

Pemasangan kamera jebak dipusatkan pada delapan stasiun pengamatan atau grid. Tiap grid dipasangi dua unit kamera sehingga total ada 16 dari 40 unit kamera yang dipasang.“Rincian titik-titik lokasi pemasangan camera trap kami rahasiakan untuk melindungi keamanan macan tutul dan satwa lain khususnya, serta keamanan kawasan (TNBTS) secara umum,” ujar Koestriadi.

Kamera dipasang hingga November dan Desember tahun lalu isi rekaman kamera dianalisis oleh tim Yayasan SINTAS Indonesia dan Balai Besar TNBTS. Hasil lengkap analisis belum dapat diberitahukan ke publik.

Untuk sementara, berdasarkan hasil rekaman kamera, jenis macan tutul di area timur dan selatan TNBTS didominasi macan kumbang alias macan tutul berwarna gelap. Sedangkan area utara TNBTS diduga dikuasai macan tutul yang bertotol hitam kecokelatan atau macan tutul yang biasa dilihat kebanyakan orang melalui foto dan video.

Kabarnya, kata Koestriadi, pemasangan kamera jebak tahap kedua akan dilanjutkan ke sisi utara TNBTS yang topografinya lebih tinggi, berbukit-bukit, yang masuk ke dalam wilayah kerja 6 RPTN lainnya. Namun ia tidak tahu kapan pemasangan kamera jebak digeser ke sana.

Baca juga: Burung Julang Emas Dilepas di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

© BBTNBTS

Survei Populasi Macan Tutul Jawa

Keterangan Koestriadi selaras dengan penjelasan Kepala Balai Besar TNBTS Rudijanta Tjahja Nugraha dalam jumpa pers di kantor pusat Balai Besar TNBTS, Jalan Reden Intan 6, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Kamis, 23 Januari 2025.

Rudijanta mengatakan, kawasan TNBTS termasuk salah satu dari 21 lanskap habitat macan tutul di Pulau Jawa yang akan dipantau dengan memakai metode yang lebih terstruktur.

Pemasangan kamera jebak merupakan bagian dari metode survei yang dilaksanakan bersama oleh Kementerian Kehutanan dan Yayasan SINTAS Indonesia melalui program Java-Wide Leopard Survey (JWLS) yang diluncurkan di Jakarta pada 27 Februari 2024.

Survei bertujuan untuk mendapatkan data dasar populasi macan tutul dan preferensi satwa mangsanya di Pulau Jawa. Survei ini sangat penting dilakukan sebagai inventarisasi berbasis data-data ilmiah dan valid meski mungkin tidak lengkap.

Baca juga: Inilah Besaran Tarif dan Larangan Mendaki Gunung Semeru

“Nah, macan tutul kan endemik Pulau Jawa dan umumnya hidup dalam kawasan konservasi, termasuk di tempat kami. Maka, kami pun harus ikut membantu pelaksanaan survei tersebut,” kata Rudijanta, yang pernah cukup lama jadi peneliti harimau sumatera atau Panthrea tigris sumatrae. 

Berdasarkan data awal, diduga ada 24 individu macan tutul di sisi timur selatan kawasan TNBTS. Namanya juga data awal, maka jumlah belum ini menggambarkan populasi keseluruhan macan tutul dalam kawasan TNBTS karena bisa jadi ada invidu macan yang sama berulang terekam kamera.

Sebaliknya, populasi macan tutul diduga bisa lebih banyak lagi dari 24 individu mengingat pemasangan kamera masih di sisi timur dan selatan.

Balai Besar TNBTS dan Yayasan SINTAS juga belum dapat memastikan jenis kelamin dan perkiraan usia macan tutul yang terekam. Semua data masih sedang dianalisis dan membutuhkan waktu cukup lama.

Tapi, Rudijanta menukas, kemunculan 24 individu macan tutul yang didominasi jenis kumbang menjadi indikator kesehatan habitat kawasan TNBTS, setidaknya menggambarkan populasi hewan mangsa seperti babi hutan atau celeng (Sus scrofa) dan jenis primata masih melimpah.

“Ketersediaan satwa mangsa yang melimpah bagus bagi reproduksi atau perkembangbiakan macan tutul. Setidaknya hal ini terkonfirmasi dari rekaman video dua individu macan kumbang yang viral di media sosial, yang kami duga sebagai seekor induk bersama anaknya sudah remaja,” kata Rudijanta.

Ada 40 kamera jebak atau kamera intai dipasang sampling. Tiap lokasi pemasangan kamera berukuran 4 kilometer persegi.

Pemasangannya mencakup area yang dinilai cocok jadi habitat macan tutul, yaitu area yang sebelumnya ditemukan jejak kaki, bulu, cakaran pada batang pohon, feses/kotoran macan, dan bangkai mangsa. Tanda-tanda keberadaan macan tutul ini diperoleh saat tim melakukan penelusuran jalur lebih dulu sebelum kamera dipasang.

“Data valid baru bisa dipastikan ketika proses kajian rampung. Sekarang masih tahap analisa lanjutan. Jika survei sudah selesai seluruhnya, pasti diumumkan dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ujar Rudijanta.

Baca juga: Kabar Gembira, Pendakian Gunung Semeru Dibuka Lagi

Dari tangkapan kamera jebak, baik yang berasal dari JWLS maupun hasil pemasangan camera trap tahun-tahun sebelumnya, diketahui macan tutul dalam lanskap TNBTS menyebar atau menghuni tiga tipe ekosistem daratan TNBTS: hutan pegunungan bawah atau zona Sub-Montane (750-1.500 meter di atas permukaan laut/mdpl), hutan pegunungan tengah atau zona Mantane (1.500-2.400 mdpl), dan hutan pegunungan atas atau zona sub-Alpin (2.400 mdpl ke atas).

Berdasarkan hasil quick review kamera jebak menunjukkan lanskap TNBTS dihuni macan tutul di beberapa lokasi survei dan didominasi oleh macan tutul melanistik, yaitu macan tutul yang memiliki kecenderungan pigmen gelap yang berlebihan pada bulunya—biasa disebut sebagai macan kumbang.

Menurut Rudijanta, macan kumbang pada dasarnya spesies yang sama dengan macan tutul. Namun, karena fenomena melanistik macan kumbang terlihat hitam. Padahal, jika dilihat dari dekat, macan kumbang tetap mempunyai pola tutul berbentuk rosette (pola mawar) samar pada bulunya.

Mengutip keterangan ahli kucing besar yang juga direktur Yayasan SINTAS Indonesia, Hariyo T. Wibisono, diduga dominasi macan tutul melanistik terjadi akibat isolasi populasi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Isolasi mengakibatkan variasi genetik di dalam populasi di lanskap TNBTS cukup rendah akibat ketiadaan pertambahan variasi genetik melalui perkawinan dengan anggota populasi macan tutul dari lokasi lain.

Dampaknya, gen yang meregulasi proses melanisme menjadi dominan dan penampakan mayoritas macan tutul TNBTS adalah hitam. Pigmen tutulnya tetap ada, tapi kalah dominan dari warna hitam.

Jadi, singkatnya, “Macan kumbang merupakan varian melanistik dari macan tutul. Yang bilang begitu ahli kucing besar dari Yayasan SINTAS Indonesia.” kata Rudijanta.

Baca juga: Pendakian Gunung Semeru Ditutup Sementara akibat Cuaca Ekstrem

© BBTNBTS

Status Konservasi Macan Tutul Jawa

Walau hidup di kawasan konservasi yang relatif terlindungi, macan tutul tetap menghadapi ancaman berupa perburuan dan perubahan habitat.

Perubahan habitat ini biasanya diakibatkan oleh konversi hutan untuk kepentingan manusia berupa lahan pertanian maupun perkebunan, atau permukiman, yang secara langsung dapat menurunkan jumlah satwa mangsa macan tutul. Ketiadaan satwa mangsa secara otomatis akan berakibat pada kelangsungan hidup sang karnivora besar.

Macan tutul jadi pemangsa puncak atau top predator di Pulau Jawa dalam mata rantai makanan setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah pada dekade 1980-an.

Pada 2016, Uni Internasional untuk Konservasi dan Sumber Daya Alam atau IUCN (The International Union for Conservation of Nature) memasukkan Panthera pardus melas ke dalam Daftar Merah sebagai spesies langka yang sangat terancam punah atau critally endangered, yang berarti tinggal dua langkah lagi menuju status punah.

Jauh sebelumnya, pada 1978, macan tutul jawa didaftarkan Pemerintah Indonesia ke dalam daftar Apendiks 1 Konvensi Internasional untuk Perdagangan Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah atau CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Apendiks 1 berisi daftar spesies yang paling terancam punah di antara hewan dan tumbuhan liar sehingga dilarang sepenuhnya untuk diperdagangkan dalam bentuk apa pun di seluruh dunia.

Macan tutul jawa juga dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025

 

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *