Kafe Pustaka, Kafe Literasi Berkonsep Mberot Kebudayaan

PETANG menjelang magrib. Rinai gerimis mempercepat malam.
David Ardyanto sibuk dan ligat menata meja dan kursi Kafe Pustaka. Satu setengah jam lagi 15 mahasiswa dari Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang akan datang. Mereka sudah memesan tempat diskusi di situ.
Kafe Pustaka (Kapus) berlokasi di Jalan Pekalongan, Kelurahan Penanggungan, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Kafe ini beroperasi sejak 7 Mei 2015 di halaman Perpustakaan Universitas Negeri Malang (UM). Pendirian kafe digagas Profesor Djoko Saryono, Guru Besar Fakultas Sastra sekaligus Kepala Perpustakaan UM.
“Aku sendiri jadi pemilik sekaligus manajer Kapus sejak berdiri, enggak pernah ganti,” kata David kepada Perawi.co, Kamis, 19 Desember 2024.
Jalan Pekalongan sejatinya jadi tempat pindahan. Kapus sejak lahir berada di dalam kampus UM sampai David mengumumkan Kapus pamit dan tutup pada 5 Agustus 2024.
Uniknya, pamitan Kapus justru ditandai dengan acara syukuran dan pentas seni yang diisi budayawan, seniman, dosen, dan aktivis mahasiswa. Jadilah sebuah acara perpisahan yang menyenangkan kendati perasaan galau dan sedih sempat menguasai diri David and the gang.
Wajar dan manusiawi. Sembilan tahun berada di dalam kampus UM, Kafe Pustaka mengalami masa pertumbuhan, masa sakit-sakitan karena pandemi Covid-19, dan masa pemulihan.
Kapus terpuruk di masa pandemi. Pendapatan anjlok hingga membuat David serasa sedang berjualan di tubir jurang. Saat bersemangat bangkit, malah terbit Surat Edaran Wakil Rektor II Universitas Negeri Malang Nomor: 26.1.78/UN32.II/SE/2024 Tanggal 29 Januari 2024 tentang pemusatan keuangan dan pembagian hasil 15 persen dari omzet kotor.
Surat edaran itu kian memberatkan bisnis Kapus. Sialnya, pihak rektorat pun menganggap kondisi Kapus sudah kumuh sehingga perlu direnovasi agar terlihat lebih kinclong dan sedap dipandang. Nantinya bekas bangunan Kapus dijadikan green building. Ya, begitulah kabar yang beredar secara getok tular, dari mulut ke mulut.
David tahu diri dan lebih baik mengalah. “Bulan Juli lalu aku didatangi pihak rektorat. Aku diberi surat edaran itu, ya kuanggap mereka seperti hendak menggusur Kapus secara halus. Ketimbang rame, mending kami tutup dan keluar dari sana,” ujar David, 43 tahun.
Baca juga: Aktivis di Kota Malang Suarakan 14 Tuntutan Saat Penutupan Kampanye 16 HAKTP
Namun, berselang hampir 3 bulan, Kapus beroperasi lagi di Jalan Pekalongan. David masih mempertahankan konsep “mberot kebudayaan” yang jadi spirit awal pendirian Kapus, yaitu sembari ngopi membangun literasi.
Kafe Pustaka sebenarnya jadi semacam perwujudan ide Profesor Djoko yang ingin menjadikan Kapus sebagai ruang pergaulan yang demokratis dan egaliter; sebuah tempat yang aman dan nyaman bagi semua orang yang ingin berbagi dan bertukar gagasan, pengetahuan dan pengalaman, sesuai latar belakang dan kapasitas masing-masing.
Dengan demikian, pendirian Kapus sejak awal diniatkan bukan jadi sekadar tempat nongkrong dan ngopi bagi para pelanggan, tapi bisa jadi kantong kebudayaan yang menyenangkan.
“Ya, Profesor Djoko ingin membentuk sebuah komunitas epistemik (berhubungan dengan pengetahuan/kognitif), sebuah lingkungan literasi yang demokratis, tempat transfer ilmu dari berbagai bidang keilmuan,” ujar David.
Menurut David, sudah ada 800-an kegiatan diadakan di Kapus. Mayoritas kegiatan berbentuk diskusi keilmuan seperti bedah buku. Topik dan tema bahasannya amat beragam, mulai dari yang kelas ringan sampai kelas berat, mulai dari isu nan receh sampai isu sensitif.
Begitu pula dengan kapasitas pembicaranya baik pembicara domestik maupun pembicara asing. Saking banyaknya, David tak ingat lagi satu per satu pembicara yang pernah mengisi kegiatan di Kapus.
Ia mengingat beberapa nama pembicara dari Indonesia, seperti wartawan cum budayawan Mohamad Sobary, sastrawan Eka Kurniawan dan Okky Madasari, sosiolog yang juga aktivis hak asasi manusia (HAM) Robertus Robet, dan tentu saja Djoko Saryono.
Pembicara asing yang diingat David di antaranya Peter Carey, John Roosa, dan Ross Tapsell.
Peter Carey seorang sejarawan senior Inggris yang sangat dikenal di Indonesia sebagai penulis buku laris bertema Pangeran Diponegoro, yaitu Asal-usul Perang Jawa (2004), Kuasa Ramalan (2011), Sisi Lain Diponegoro (2017), dan Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2023).
Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi
John Roosa, profesor sejarah di University of British Columbia (UBC), Kanada. Ia penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia.
Pada 2007, buku itu masuk tiga besar buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial di ajang International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, Malaysia. Lalu, buku ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Januari 2008).
Sedangkan Ross Tapsell adalah dosen ahli kajian Indonesia di Universitas National Australia (ANU) dan penulis buku Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (2018). Konon, gara-gara bukunya ini, Ross Tapsell sempat dicekal alias dilarang masuk ke Indonesia.
“Walau kafe kami di dalam kampus, tapi kami tetap sangat terbuka dengan siapa pun,” ujar David.

Pertahankan Konsep Mberot Kebudayaan
Kafe Pustaka buka lagi di Jalan Pekalongan semenjak 5 November 2024. Identitas kelahirannya sebagai kafe literasi pertama di Kota Malang tetap dipertahankan.
Pilihan David tergolong sangat berani tatkala kafe-kafe menjamur di banyak sudut kota dan hampir seluruhnya dikelola sebagai maujud (entitas) bisnis murni untuk menangguk fulus sebanyak-banyaknya. Cuma segelintir pengusaha yang mendedikasikan kafenya untuk mendukung kegiatan literasi.
Dari segelintir orang itu ada nama Al Muiz Liddinillah. Alumni Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim alias UIN Malang ini jujur mengaku terilhami oleh Kafe Pustaka sewaktu mendirikan Oase Cafe & Literacy alias Kafe Oase di Jalan Joyo Utomo V, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, pada 11 Januari 2017.
Baca juga: Kumuh Sejak dalam Pikiran
David berpikir positif saja. Tempat baru di Jalan Pekalongan bukan untuk dirisaukan, namun justru membuka peluang untuk menyasar konsumen yang lebih luas dan beragam tanpa harus mengaburkan dan bahkan menghilang identitas asli. Kebutuhan duit tak sepenuhnya menguasai ambisi David.
Saat masih berada di dalam kampus Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTGD), nama pertama UM sejak berdiri 1 September 1954, captive market Kapus adalah mahasiswa UM. Proporsinya sekitar 90 persen berbanding 10 persen mahasiswa di luar UM.
Konsumen Kapus kian beragam setelah berada di luar pagar UM. Banyak pelanggan dari kampus lain, plus konsumen nonmahasiswa. David sangat tertolong oleh jejaring pertemanan lama sejak Kapus berdiri sehingga David tak perlu kerepotan untuk halo-halo ke mana-mana.
“Paling-paling aku cuma repot sedikit untuk mengabari bahwa kami sudah pindah. Cukup ngabarin lewat akun medsos (media sosial), banyak pelanggan lama berdatangan,” kata dia.
Pelanggan lama atau pelanggan setia susah berpindah ke kafe lain. Mereka datang bukan semata didorong keinginan minum dan makan enak, serta murah. Banyak pelanggan yang mengaku pada David bahwa suasana Kapus bikin betah. Mereka merasa homy.
Boleh dibilang, harga makanan dan minuman di Kapus memang relatif murah dibanding kebanyakan kafe. David pernah mempertahankan harga selama 8 tahun alias harga tak pernah naik. Kenaikan harga baru dilakukan setelah pandemi Covid-19 berlalu.
Harga makanan di Kapus berkisar Rp 10.000 sampai Rp 18 ribu. Menu terlarisnya mangut lele buatan istrinya David. Sedangkan harga minuman antara Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu. Minuman terlaris wedang kopi robusta istimewa dan es teh tarik.
David menuturkan, “Aku sebenarnya enggak enak naikin harga, tapi mau gimana lagi. Toh akhirnya pelangganku maklum-maklum saja karena aku enggak pernah naikin harga dan mereka juga tahu visi-misiku sejak awal memang ingin bikin kafe literasi, yang waktu itu belum ada di Malang. Aku terpaksa menaikkan harga bukan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya, tapi agar kafe ini bertahan dan teman-teman tetap punya ruang literasi.”
Sejak beroperasi di tempat baru, Kafe Pustaka sudah diisi banyak kegiatan. Kebanyakan kegiatan diskusi. Hampir tiap pekan selalu ada komunitas yang mereservasi tempat untuk rapat.
Hal itu menjelaskan bagaimana Kapus melakukan konsep mberot kebudayaan. Istilah ini pertama kali disebut oleh Profesor Djoko Saryono saat acara reloaded opening Kafe Pustaka tanggal 5 November lalu.
Mberot menjadi istilah populer di kalangan pegiat kesenian bantengan di wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Tiada definisi baku tentang mberot kebudayaan. Tapi Profesor Djoko mengistilahkannya sebagai konsep kebebasan berpikir dan bertukar pikiran secara inovatif, terbebas dari aturan-aturan kaku dan zakelijk (baca: sakelek).
David juga memaknainya sebagai ruang alternatif kebebasan bertukar pikiran sebagaimana halnya kampus yang harus menjamin kebebasan akademik. Ketika atmosfer kampus tak lagi demokratis dan membosankan, maka Kafe Pustaka bisa menjadi oase, menjadi tempat alternatif untuk menyalurkan pikiran-pikiran kritis. Ya, Kapus bisa jadi semacam ruang kuliah yang demokratis dan egaliter.
Baca juga: Maestro Topeng Malang tanpa Ketenaran
“Sebagai ruang mberot kebudayaan, mberot pemikiran, mberot intelektual, apa pun istilahnya, Kapus bisa jadi ruang alternatif di luar sistem kampus,” ucap David.
Komentar Pelanggan
Rata-rata pelanggan menyukai konsep mberot kebudayaan yang dipakai Kafe Pustaka. Salah seorang penyukanya bernama Muhammad Haidar Sabit, mahasiswa sosiologi Universitas Brawijaya (UB). Sejak sore ia di Kapus.
Saat dijumpai, Haidar sedang sibuk mengetik pakai laptop. Ia sedang fokus menyelesaikan beberapa pekerjaan.
Sebagai pegiat pers mahasiswa, Haidar merasa Kapus tempat yang cocok untuk menyelesaikan tugas kuliah maupun sekadar untuk bersantai. Lagi pula lokasi Kapus cukup strategis, masih berdekatan dengan kampus UM dan UB, sehingga tak usah jauh-jauh cari tempat yang nyaman.
“Bagiku, di sini nyaman untuk belajar. Lagian aku pun terbantu pas butuh buku referensi untuk mengerjakan tugas karena koleksi perpustakaan Kapus cukup lengkap,” kata Haidar, pegiat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Perspektif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya.
Baca juga: Pers Mahasiswa Bukanlah Anak Tiri Perguruan Tinggi
Afifah Tri sepaham dengan Haidar. Mahasiswa Sastra Indonesia UM ini kerap mengerjakan tugas akhir kuliah di Kapus. Ya, sesekali mampir untuk menikmati segelas kopi. Dia betah, selain karena pengelolanya friendly, harga menu Kapus tergolong murah.
Afifah dan Haidar sering mengikuti kegiatan diskusi di sana. Mereka kompak mengamini Kafe Pustaka memang cocok sebagai ruang literasi, ruang baca, tempat orang-orang bebas bertukar ide dan pikiran.
“Cukup sering mengikuti diskusi di sini. Untuk tempat diskusi nyaman dan kondusif karena lokasinya strategis dan tidak berada di tepi jalan raya sehingga suasananya cukup tenang, apalagi di malam hari,” kata Afifah.
Tiada terasa sudah jelang tengah malam. Banyak tamu pamit pulang. David dan kawan-kawan pun sibuk membersihkan dan merapikan susunan kursi dan meja. Lalu, lampu-lampu ruangan dipadamkan. Klik.
Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2024
5 Comments