Haul Gus Dur, dari Inul Daratista sampai Waduk Kedung Ombo

PERAWI, Malang — Virdika Rizky Utama masih bisa nyengir saat duduk berpose bersama sang istri di hamparan Laut Pasir Bromo atau Kaldera Bromo dengan latar belakang Gunung Batok, Rabu pagi, 15 Januari 2025.
Padahal, 7-8 jam sebelumnya ia menjadi narasumber acara haul ke-15 Presiden Keempat Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Kota Malang.
Kata haul berasal dari bahasa Arab yang bermakna memperingati kematian seseorang—biasanya seorang tokoh besar. Haul lazim diadakan setahun sekali. Gus Dur lahir di Jombang, 7 September 1940, dan wafat di RSCM Jakarta pada 30 Desember 2009.
Acara haul ke-15 Gus Dur di Kota Malang diadakan oleh Duta Damai BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Regional Jawa Timur bekerja sama dengan Oase Institute dan Komunitas Gubuk Tulis di Oase Cafe & Literacy atau Kafe Literasi Oase, Jalan Joyo Utomo V, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Selasa malam, 14 Januari 2025.
Dihadiri sekitar 30 anak muda, mayoritas anggota komunitas Gusdurian Muda (Garuda) Malang, acara itu selesai jelang tengah malam. Pas lewat tengah malam Virdika dan istri justru berangkat ke Gunung Bromo ditemani Al Muiz Liddinillah, pemilik Kafe Oase. Praktis, Virdika hampir tidak tidur sejak dari Jakarta sampai Malang dan Bromo.
Baca juga: Wisata Gunung Bromo Ditutup Selama Dua Hari untuk Hormati Wulan Kapitu
Virdika menjadi narasumber bersama Mohammad Syafi’ Alielha alias Savic Ali, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan pendiri portal Islami.co. Virdika sendiri merupakan penulis buku Menjerat Gus Dur (2020) yang menjabarkan skenario dan konspirasi penjatuhan Gus Dur.
Masa pemerintahan Gus Dur pendek. Mantan Ketua Umum PBNU ini menjabat sebagai Presiden sejak 20 Oktober 1999 hingga dimakzulkan pada 23 Juli 2001. Gus Dur menggantikan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie setelah dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum 1999.
Savic dan Virdika bersama peserta diskusi membahas warisan pemikiran Gus Dur perihal demokrasi, kebebasan berekspresi, hingga prinsip-prinsip keadilan. Inti pembahasannya masih dalam perspektif “9 Nilai Utama Gus Dur” yang jadi pedoman hidup Gusdurian.
Sedangkan Ketua Pelaksana Kegiatan Moh. Yajid Fauzi dalam sambutannya mengatakan, pelaksanaan haul dan diskusi itu didorong oleh keresahan anak muda melihat kualitas demokrasi yang terancam terus merosot drastis akibat dikorupsi oleh elite-elite politik dan kekuasaan.
‘’Makanya kami mengadakan acara ini dengan tema ‘Gus Dur dan Demokrasi’ dengan tujuan kami ingin kembali belajar dan merefleksikan nilai-nilai demokrasi seperti yang diteladankan Gus Dur baik sebelum dan sesudah jadi presiden,” ujar Fauzi, alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi

Gus Dur Membela Inul dan Warga Kedung Ombo
Savic Ali menyoroti kegigihan Gus Dur dalam memperjuangkan kebebasan berbicara dan berekspresi. Aktivis ’98 ini mencontohkan pembelaan Gus Dur pada 2003 terhadap Ainur Rokhimah atawa Inul Daratista yang dikecam banyak pihak, bahkan diboikot Rhoma Irama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), gara-gara goyang ngebor-nya yang kontroversial.
Bukan hanya membela secara lisan, Gus Dur malah mengajak Inul makan siang bersama di rumah Gus Dur pada 29 April 2003.
Kata Savic, meski tidak selalu menyetujui tindakan seseorang seperti Inul, tapi kebebasan berekspresinya tetaplah hak setiap warga negara yang harus dihormati dan dilindungi.
“Gus Dur tidak mengatur pikiran orang, tetapi membuka ruang pendidikan dan dialog. Semua orang dihargai setara,” ujar Savic.
Baca juga: Wisata dan Belajar Konservasi di Hutan Lindung Kasinan Kota Batu
Gus Dur juga berani terbuka membela hak-hak masyarakat tertindas, seperti dalam kasus pembangunan Waduk Kedungombo.
Sekadar pengingat, Waduk Kedungombo terletak di perbatasan tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yakni Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Waduk seluas 6.576 hektare ini dibangun selama sebelas tahun, sejak 1980 hingga diresmikan Presiden Soeharto pada 18 Mei 991.
Pembangunan Waduk Kedungombo menuai protes besar dari masyarakat dan pembela lingkungan hidup. Namun, proyek nasional tersebut tetap berjalan. Dampaknya, 37 desa ditenggelamkan dan 5.268 keluarga kehilangan tempat tinggal.
Prinsip Politik Gus Dur
Virdika Rizky Utama sepaham dengan Savic. Namun ia lebih menekankan keberanian Gus Dur dalam berpolitik.
Virdi, panggilan akrab alumni Universitas Negeri Jakarta ini, menceritakan sikap tegas Gus Dur yang rela dimakzulkan (impeached) tinimbang menyerahkan jabatannya kepada pihak-pihak yang haus dan serakah kekuasaan maupun ingin mempertahankan kekuasaan.
“Gus Dur menciptakan politik keseimbangan berbasis suara masyarakat sipil (civil society), berbeda dengan situasi hari ini yang lebih menyerupai Orde Baru,” ungkap Virdi, yang juga peneliti di lembaga riset politik independen PARA Syndicate, Jakarta.
Ia pun menyoroti konsistensi Gus Dur yang memberi ruang kepada kelompok kritis, termasuk kepada mereka yang berbeda pandangan dengan dirinya, seperti Amien Rais.
Berbeda dengan kondisi saat ini, kekuatan politik lebih banyak digunakan untuk melanggengkan kekuasaan melalui sejumlah regulasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, serta penggunaan buzzer untuk membungkam suara-suara kritis.
Tonton juga: Virdika: Reformasi Dikorupsi Sejak Gus Dur Dijatuhkan
Ketertarikan dirinya menulis buku Menjerat Gus Dur berawal dari pandangan Gus Dur tentang umat beragama, bahwa kebanyakan umat beragama lebih senang hal-hal yang simbolis dan dogmatis ketimbang esensi dan tindakan nyata yang berguna bagi kemaslahatan umat dan keumatan, bagi manusia dan kemanusiaan.
Pemikiran Gus Dur Masih Relevan
Diskusi di lantai tiga Kafe Literasi Oase itu makin seru setelah beberapa hadirin memberi tanggapan.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh multidimensi yang terkait dengan demokrasi, hak asasi manusia, budaya, kajian keislaman, dan bahkan humor. Posisi Gus Dur jarang dihubungkan dengan isu maupun advokasi lingkungan.
Tanggapan pertama disampaikan Daniel Sugama Stephanus. Nah, dosen akutansi Universitas Ma Chung ini menceritakan pembelaan Gus Dur terkait lingkungan dan kelompok minoritas seperti dalam kasus Laskar Hijau pada 2008.
Baca juga: Siswa SMA Ini Minta Presiden Prabowo Subianto Batasi Produksi Plastik
Ceritanya, pendiri Laskar Hijau Aak Abdullah Al-Kudus alias Gus Aak mendapat sebutan sesat dari MUI Lumajang gara-gara Laskar Hijau mengadakan acara “Maulid Hijau” di area Ranu Klakah yang berada di lereng Gunung Lemongan, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Gerakan ini dimulai sejak 2006.
Gerakan ini berbasis pada tradisi masyarakat setempat. Masyarakat setempat biasa mengadakan ritual maulid Nabi Muhammad dengan cara menanam dan merawat pohon di sekitar danau Klakah—kata ranu dalam bahasa Jawa khas Lumajang berarti danau.
Pas di tahun ketiga itulah MUI Lumajang menerbitkan fatwa yang menyebut pelaksanaan Maulid Hijau sebagai kegiatan sesat dan Gus Aak pun dicap sebagai tokoh sesat.
Singkat cerita, Gus Aak berjumpa Gus Dur di kantor PBNU. Enggak pikir lama-lama, Gus Dur membela Gus Aak dan Laskar Hijau sampai kemudian masalah tersebut selesai.
“Itu satu contoh bukti betapa Gus Dur juga punya perhatian besar terhadap isu-isu lingkungan. Masih ada contoh-contoh lainnya tentang Gus Dur dan isu lingkungan,” kata Daniel.
Peserta lain, Ilmi Najib, pentolan Garuda Malang, mengangkat isu ekologi, khususnya sikap Nahdlatul Ulama terhadap pertambangan.
Baca juga: Cara Alicia Mencintai Indonesia melalui Lukisan Sepanjang 97 Meter
Savic Ali merespons tanggapan Ilmi Najib dengan menjelaskan bahwa dalam pandangan Gus Dur, pertambangan perlu diatur dengan ketat untuk menghindari eksploitasi berlebih yang menguntungkan kapitalisme semata.
Begitu pula perhatian besar Gus Dur pada Konghucu bukan karena ingin menganaktirikan kelompok lain, namun karena Konghucu berpuluh tahun terzalimi di masa Orde Baru.
Kesimpulan Diskusi
Kesimpulan di akhir acara, diskusi tentang Gus Dur menekankan pentingnya menjaga kebebasan berbicara dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam demokrasi.
Legacy atau warisan Gus Dur mengajarkan proses demokrasi harus berisik dalam konteks menerima kritik secara terbuka dan lapang dada dengan mengedepankan dialog yang sehat.
Lebih dari itu, seorang pemimpin jangan hanya jago bicara, tapi juga harus punya sikap teguh dan keberanian untuk membela kepentingan rakyat dan keadilan bagi siapa pun yang dizalimi, sebagaimana dicontohkan Gus Dur.
Karena itu, pemikiran dan perjuangan Gus Dur masih tetap relevan digunakan untuk menghadapi banyak tantangan berbangsa dan bernegara di masa sekarang dan masa berikutnya sehingga warisan Gus Dur harus dijaga bersama dan dilestarikan secara berkelanjutan atau berkesinambungan.
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025
One Comment