Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi

PERAWI, Malang — Sebagian keluarga korban Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 menilai negara belum mampu memberikan keadilan kepada mereka. Negara lebih banyak memberikan bantuan sosial (bansos) ketimbang sungguh-sungguh memberikan keadilan kepada keluarga lewat jalur hukum.
Demikian pernyataan yang dirangkum dari diskusi publik bertajuk “Menolak Lupa, Tragedi Kanjuruhan 2 Tahun tanpa Keadilan” di Kedai Swara Alam, Desa Kedungpedaringan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Senin malam, 30 September 2024.
Diskusi dihadiri 6 perwakilan keluarga korban dan sekitar 50 aktivis mahasiswa. Panitia diskusi menghadirkan Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, Andi Muhammad Rezaldy (Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan/KontraS), Koordinator LBH Pos Malang Daniel Alexander Siagian, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dhia Al Uyun, dan Suciwati, istri pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib alias Munir.
Lokasi diskusi terpaut jarak sekitar 300 meter dari Stadion Kanjuruhan, tempat tragedi yang menewaskan 135 orang itu terjadi.
Dua pekan sebelum diskusi berlangsung, tepatnya pada 18 September 2024, terbit buku setebal 564 halaman yang berjudul Move in Silence, Untold Story of Kanjuruhan Disaster. Buku ini berisi 41 tulisan, plus 390 foto.
Penulisnya Kepala Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Putu Kholis Aryana. Ia dibantu tim penyusun buku yang beranggotakan Neny Fitrin dan Yudistira Satya Wira Wicaksana alias Fino (keduanya wartawan Radar Malang), serta Bakti Riza Hidayat (advokat). Kholis dan tim penyusun menggarap buku selama Januari-Juli 2024.
Buku itu diterbitkan oleh Edulitera Malang (PT Literindo Berkah Karya) yang beralamat di Jalan Raya Apel 28A, Semanding, Sumbersekar, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Konon, buku Move in Silence, Untold Story of Kanjuruhan Disaster hanya dicetak 350 eksemplar. Buku ini sempat dipajang di laman https://eduliteramalang.literindo.id, tapi sekarang sudah tidak kelihatan lagi di katalog bukunya.
Hampir 100 persen isi buku Move in Silence, Untold Story of Kanjuruhan Disaster disusun dari penuturan langsung maupun tulisan narasumber yang secara langsung maupun tidak langsung turut merasakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah persepakbolaan dunia dan tentu saja jadi tragedi terbesar dalam tambo sepakbola Indonesia.
Menurut Neny, Putu Kholis Aryana membebaskan tim penyusun memilih narasumber, baik yang pro maupun kontra terhadap polisi supaya isi buku berimbang dan kaya perspektif. Biarkan pembaca yang menilainya. Begini pula yang dikatakan Bakti.
Tim lalu membuat daftar kandidat narasumber dengan beragam latar belakang profesi dan organisasi. Tim penyusun ingin menggali banyak cerita dari narasumber sipil. Tapi tidak semua calon narasumber bersedia diwawancarai.
Beberapa calon narasumber menolak diwawancarai dengan alasan berbeda. Misalnya, tak ingin mengkhianati kepercayaan keluarga korban yang masih berjuang menuntut keadilan lewat jalur hukum; bersimpati terhadap perasaan korban yang masih hidup (penyintas), dan menghormati pengalaman traumatis keluarga korban meninggal. Tim penyusun juga mencoret calon narasumber yang meminta bayaran.
Alhasil, tim penyusun mendapatkan 21 narasumber, terdiri dari 13 orang sipil atau non-polisi dan 18 anggota Polri.
Dalam kelompok narasumber non-polisi, antara lain, terdapat nama Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Periode 2017-2022 Choirul Anam; Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Periode 2020-2024 Poengky Indarti; Media Officer Arema FC Sudarmaji; Vincensius Sari (ayah kandung korban meninggal Yohanes Revano Prasetyo dan juga Koordinator Perkumpulan Kerukunan Keluarga Korban Kanjuruhan/PK3), Mohammad Rafi Azzamy (Anggota Komite Aksi Kamisan Malang), serta dua jurnalis, yakni Galih R. Prasetyo (Radar Malang) dan Fajar Agastya (Metro TV).
Ada juga Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Ahmad Imron Rozali, serta Ujik Putu Kholis, yang tiada lain tiada bukan adalah istri Putu Kholis Aryana sekaligus Ketua Bhayangkara Cabang Malang.
Penuturan Choirul Anam tersaji dalam artikel berjudul “Viralnya Gate 13”, halaman 73-86. Anam mengisahkan keruwetan pengusutan Tragedi Kanjuruhan, terutama saat beredar luas informasi tertutupnya pintu nomor 13 Stadion Kanjuruhan sehingga banyak penonton terjebak hingga roboh dalam kondisi sekarat dan wafat.
Anam juga menyatakan Tragedi Kanjuruhan bukanlah sebuah pelanggaran berat HAM. PSSI-lah pihak yang paling bertanggung jawab.
“PSSI harus dihukum dengan menjadikan Malang sebagai ground zero pusat pelatihan sepak bola nasional. Tempat pelatihan wasit, harus di Malang. Tempat pelatihan match steward juga dipusatkan di Malang. Tujuannya, untuk membayar utang nyawa yang sudah dipertaruhkan dalam laga yang berada di dalam otoritas PSSI.”
Baca juga: Aktivis di Malang Suarakan 14 Tuntutan pada Penutupan Kampanye 16 HAKTP
Menurut Poengky Indarti, Tragedi Kanjuruhan merupakan kesalahan kolektif. Kompolnas telah mengumumkan delapan hasil analisis terkait rentetan kelonggaran dan kekeliruan yang dibiarkan secara simultan dan berulang hingga memicu terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
“Hentikan praktik-praktik kecurangan dan upaya-upaya memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan yang lain. Semua aturan dan rekomendasi FIFA terkait kasus Kanjuruhan harus segera dilaksanakan,” kata Poengky dalam artikel berjudul Kesalahan Kolektif (halaman 302-313).

Polisi Jadi Narasumber
Karena buku Move in Silence ditulis seorang polisi, tentu amat menarik menilik jumlah polisi yang jadi narasumber. Dari 18 polisi yang jadi informan, 16 orang di antaranya masih bertugas di Markas Polres Malang, satu orang bertugas di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang dan mantan Kapolres Malang.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, 18 polisi yang jadi narasumber terdiri 6 perwira menengah atau pamen (2 orang ajun komisaris besar polisi/AKBP dan 4 orang komisaris polisi/Kompol), 8 perwira pertama atau pama (6 orang ajun komisaris polisi/AKP dan 2 orang inspektur polisi satu/Iptu), 2 polisi golongan bintara tinggi berpangkat ajun inspektur satu/Aiptu), dan 2 polisi golongan brigadir/bintara yang masing-masing berpangkat brigadir polisi kepala/Bripka dan brigadir polisi satu/Briptu).
Dua pamen berpangkat AKBP yang jadi narasumber penulisan buku adalah Putu Kholis Aryana dan Ferli Hidayat. Mereka sejatinya bersahabat sejak lama. Kholis juniornya Ferli. Anak mereka satu sekolah.
Kholis menyumbang dua tulisan, masing-masing berjudul Awan Pekat Langit Kanjuruhan (halaman 230-245) dan Diplomasi Menghadapi Aksi (halaman 314-347). Sedangkan penuturan Ferli Hidayat terekam dalam tulisan berjudul Pelajaran Mahal.
Ferli adalah perwira menengah polisi yang pernah 9 bulan menjadi Kapolres Malang sejak 24 Januari hingga jabatannya dicopot Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada Senin, 3 Oktober 2022, dua hari setelah terjadinya Tragedi Kanjuruhan. Posisi Ferli diserahkan kepada Kholis.
Dalam artikel setebal 35 lembar (halaman 87-121) yang berjudul Pelajaran Mahal, Ferli mencurahkan isi hati (curhat), menguraikan sikap dan upaya penyiapan pengamanan pertandingan antara tuan rumah Arema FC versus Persebaya Surabaya, baik sebelum, momen tragedi, dan pasca-tragedi.
Ferli menjelaskan, misalnya, ia sudah meminta kepada operator Liga Indonesia Baru (LIB) jadwal pertandingan dimajukan dari malam ke siang hari mengingat pertandingan kedua tim memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi, potensi terjadinya chaos sangat besar. Permintaan Ferli ditolak.
Ferli juga mengatakan bahwa big match Arema-Persebaya seharusnya diamankan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Anggota Polres Malang berjumlah 1.000-an (tepatnya 1.192) orang dan mustahil diturunkan semua untuk mengamankan yang membutuhkan personel sekitar 2.100 orang itu.
“Menurut saya, sejujurnya yang harus mengamankan pertandingan Arema FC versus Persebaya Surabaya adalah Polda Jatim,” kata Ferli seperti tertulis di halaman 95.
Secara tersirat, perwira menengah kelahiran Palembang, 3 September 1982, itu mengatakan seharusnya yang paling bertanggung jawab atas seluruh rangkaian pelaksanaan dan pengamanan pertandingan adalah jenderal bintang dua dan bintang tiga. Ferli terkesan sangat keberatan seluruh dosa dan kesalahan ditimpakan kepada dirinya.
Ferli pun mengungkapkan penyesalan mendalam dan permintaan maaf kepada penyintas dan keluarga korban, sekaligus menyesali kegagalan dirinya mendamaikan Aremania (suporter Arema) dan Bonekmania (suporter Persebaya).
“Mimpi saya mendamaikan Aremania dan Bonek sudah mati sebelum berkembang. Perjuangan saya untuk perdamaian hancur berkeping-keping malam itu. Semua upaya saya seakan sia-sia setelah tragedi Kanjuruhan menghantam hidup saya dengan begitu dahsyatnya.”
Itulah curhat terbuka pertama pasca-Tragedi Kanjuruhan yang diungkapkan Ferli Hidayat melalui buku, tidak disampaikannya kepada pers, apalagi diceritakan lewat media sosial. Selama hampir dua tahun Ferli memilih menutup diri kepada pers dan publik.
Jumlah 18 polisi tadi masih bisa ditambah dengan 32 polisi yang memberikan beragam komentar positif terhadap upaya-upaya pemulihan dan rekonsiliasi yang dilakukan Putu Kholis Aryana. Komentar-komentar polisi dapat dibaca pada halaman 475-549.
Halaman 475-549 juga jadi semacam galeri foto, selain foto-foto yang menghiasi halaman lainnya. Dari semua (390) foto di dalam buku, mayoritas berasal dari Seksi Hubungan Masyarakat (Humas) Polres Malang.
Banyak foto bertema upaya jajaran Polres Malang melakukan rekonsiliasi dengan korban hidup dan keluarga korban, termasuk pemberian bansos. Ada pula foto-foto saat Tragedi Kanjuruhan terjadi, termasuk foto jenazah korban, kerusakan bangunan dan kendaraan, serta aksi demonstrasi.
Memang, isi buku tidak membahas khusus upaya penyelesaian kasus Tragedi Kanjuruhan lewat jalur hukum. Namun, ada pernyataan menarik yang ditulis Kholis di bagian kata pengantar:
“Jika mau mengoreksi kesalahan polisi, sudah barang tentu Polres Malang memiliki porsi kesalahan paling besar. Tidak ada polisi yang bisa mengelak dari tuduhan tersebut. Baik itu Kapolri, Kapolres Ferli (AKBP Ferli Hidayat, Kapolres Malang saat peristiwa terjadi) maupun Kapolres Kholis (AKBP Putu Kholis Aryana, Kapolres Malang penerus Ferli).”
Namun, setelahnya, polisi kelahiran Semarang, 5 Juli 1983, itu lebih memfokuskan tulisannya pada upaya rekonsiliasi dengan para korban dan keluarganya melalui pendekatan kepolisian masyarakat, sebagaimana ia jabarkan dalam tulisan Awan Pekat Langit Kanjuruhan dan Diplomasi Menghadapi Aksi. Tulisan-tulisan Kholis diperkuat dengan banyak data dan foto.
“Saya berusaha mewujudkan keadilan yang bisa diterima berbagai kultur masyarakat Malang melalui pendekatan paradigma community policing, peacemaking crimonology, dan transformative justice,” begini ditulis Kholis (halaman viii).
Walhasil, buku Move in Silence, Untold Story of Kanjuruhan Disaster mirip sebuah “buku putih” untuk membela diri, mirip buku kompilasi curahan hati dan pernyataan pendapat para narasumber. Tapi wajar saja polisi membela diri, sama wajarnya jika suatu saat muncul buku tandingan dari pihak lain.
Itu pertanda bagus untuk memperkaya khazanah peradaban manusia. Pendapat dibalas dengan pendapat. Tulisan dibalas dengan tulisan. Buku dibalas dengan buku.
Dan, yang terpenting, ingatlah pepatah Latin: verba volent, scripta manent. Terjemahan bebasnya adalah omon-omon gampang menguap hilang, sedangkan tulisan bersifat abadi.
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2024
7 Comments