| |

Di Kota Malang Terdapat Kios Penjual Ribuan Kaset Pita Bekas

Sumartono alias Cak Tono. © PERAWI/Delta Nishfu

SABTU siang, 18 Januari 2024.

Seorang pria paruh baya sedang bersantai di sebuah kios barang bekas berukuran 5 meter persegi. Dinding kios mungil itu dipenuhi ribuan kaset pita (compact cassette) bekas berisi rekaman lagu karya penyanyi maupun musisi Indonesia dan luar negeri, dari era 1960-2006.

Genrenya campur aduk. Ada kaset lagu rock dari band Deep Purple, Mr Big, Bon Jovi, Skid Row, Guns N’ Roses. Tentu saja ada kaset lagu karya penyanyi maupun musisi dalam negeri, seperti band God Bless, Slank, Gigi, KLa Project, Virgiawan Listanto (Iwan Fals), Christian Rahadi alias Chrisye, Rhoma Irama hingga Evie Tamala.

“Kaset yang ada di sini tiga ribu biji lebih,” kata Sumartono alias Cak Tono, pemilik Kios Cak Tono Kaset di Jalan Insinyur Juanda (Jalan Juanda), Kelurahan Jodipan, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Kiosnya masih satu area dengan Kampung Wisata Warna-Warni.

Cak Tono sendiri mengenakan kaus bergambar Iron Maiden saat berbincang dengan Perawi. Rupanya ia ngefans berat pada Iron Maiden, grup musik beraliran heavy metal yang berdiri pada 1975 di London, Inggris.

Usaha jualan kaset dimulai Cak Tono sejak 1990 sepulang dari merantau di Malaysia. Karena menganggur, pria kelahiran 1968 itu terpaksa menjual kaset-kaset koleksi miliknya.

Baca juga: Film Carry-On, Pecundang Jadi Pahlawan

Semula, Cak Tono memulai usahanya dengan berbekal 65 buah kaset pita. Ia membuka lapak sederhana beralas tanah di depan sebuah toko ban dekat Jembatan Jodipan. Kaset-kaset ditaruh di atas meja reot.

Namun, Cak Tono hanya sebentar berjualan di sana. Ia terpaksa memindahkan lapaknya ke Jalan Juanda setelah dilarang oleh seseorang untuk berjualan di tempat awal.Ia menolak menyebutkan identitas orang yang melarangnya berjualan, tapi yang jelas  Cak Tono bertahan di Jalan Juanda hingga sekarang.

Cak Tono mempunyai banyak relasi di dunia perkasetan yang menyebabkan jumlah barang dagangannya bertambah banyak dan genrenya menjadi sangat variatif.

Banyak orang mengunjungi Kios Cak Tono Kaset untuk mencari kaset-kaset pita dari berbagai zaman. Harga per kaset antara Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribu. Harga kaset umumnya ditentukan oleh kepopuleran band maupun penyanyi dan genrenya.

Dari semula cuma berjualan 65 kaset, 35 tahun kemudian Cak Tono punya 3 ribuan kaset yang dijejer rapi memenuhi seluruh sudut kios.

Padahal ia masih punya koleksi yang lebih banyak lagi di rumahnya di Jalan Muharto, Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedungkandang. Namun, kios persegi panjang miliknya tak lagi menyisakan ruang cukup untuk menampung seluruh koleksi kaset.

“Stok di rumah saya masih lebih banyak lagi. Ada 5 ribu biji lebih mungkin,” ujar Cak Tono.

Sumartono alias Cak Tono @ PERAWI/Delta Nishfu

Hidup dari Hobi 

Hujan sudah reda, tapi langit masih pekat kelabu. Cak Tono bercakap-cakap santai dengan dua temannya.

Berselang sebentar, ia bangkit dari tempat duduk untuk melipat spanduk atau banner yang dipakainya untuk mencegah tempias air hujan masuk ke dalam kios.

Kendati berjualan barang-barang bekas, Cak Tono tetap rajin dan teliti menjaga kebersihan kios supaya ruangannya tidak lembap. Kelembapan bisa memunculkan jamur penyerang pita magnetik dalam kaset.

Ia sering membersihkan kaset pakai tisu, alkohol, dan rewinder. Gampangnya, rewinder sama dengan alat penggulung, yaitu alat yang digunakan untuk menggulung bahan seperti kertas, film, atau pita, menjadi gulungan yang lebih kecil atau menjadi bentuk tertentu.

“Saya selalu membersihkan kaset-kaset yang baru saya beli agar barangnya awet. Saya juga harus rajin bersih-bersih ruangan agar orang-orang yang ke sini senang,” kata Cak Tono.

Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi

Kecintaan Cak Tono pada musik terpupuk sejak kecil. Ayahnya yang seorang penggemar musik pop klasik seperti Iwan Fals berperan besar mempengaruhi kesukaannya pada musik.

Kalo nggak ada musik itu hampa rasanya. Kalo kita suka musik, lho,” kata dia.

Tono ingat kaset album musik pertama yang dibelinya berjudul Primitive Cool milik Michael Phillip Jagger alias Mick Jagger, vokalis grup musik rock legendaris The Rolling Stones. Ia beli kaset itu seharga Rp 4.500, hanya selisih Rp 500 dari uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan)-nya di SMA.

“Saya bisa beli kaset sendiri pas SMA. Tapi belinya pakai uang SPP. Waktu itu SPP-nya Rp 5.000, nah harga kasetnya Rp 4.500. Orang tua akhirnya marah,” kata Tono, mengenang.

Cak Tono tergelak mengingat kenakalannya saat remaja. Bisa jadi, banyak kenangan berharga lain yang diingatnya saat memandangi album Primitive Cool maupun album yang lain.

Selain kaset, Cak Tono juga menjual beberapa merek radio tape recorder atau perekam kaset jadul. Tape recorder adalah perangkat untuk merekam dan memutar ulang suara menggunakan media pita magnetik—umumnya dikenal dengan sebutan radio tape.

Sama halnya dengan kaset, Tono mendapatkan radio tape jadul dari para penjual radio bekas. Ia pun memajang beberapa keping piringan hitam (vinyl). Salah satu koleksinya yang paling mahal adalah album Badai Pasti Berlalu, yang dibanderol seharga 600 ribu rupiah.   

Perlu diketahui, album Badai Pasti Berlalu merupakan mahakarya (masterpiece) musisi, budayawan, sekaligus sutradara kondang Erros Djarot. Album ini dirilis pada 1977 dan 30 tahun kemudian (2007) dinobatkan sebagai album Indonesia terbaik oleh majalah Rolling Stone Indonesia.

Baca juga: Kafe Pustaka, Kafe Literasi Berkonsep Mberot Kebudayaan

Album Badai Pasti Berlalu berisi lagu tema atau soundtrack film dengan judul yang sama arahan sutradara terkenal Teguh Karya. Film Badai Pasti Berlalu dibintangi oleh Christine Hakim, Roy Marten, dan Slamet Rahadjo (abang kandung Erros Djarot).

Abum Badai Pasti Berlalu dirilis ulang dalam bentuk piringan hitam pada 2024 oleh label rekaman Mastersound dan Elevation Records. “Album ini hasil remake tahun 2024,” kata Tono.

© PERAWI/Delta Nishfu

Bukan Kios Recehan

Studio-studio rekaman musik tidak lagi memproduksi kaset pita sejak 2008.

Mereka beralih ke format digital dalam bentuk cakram padat (compact disk) maupun format digital MP3—singkatan dari MPEG-1 Audio Layer 3, yaitu format audio yang dipakai untuk menyimpan suara digital dalam file (berkas) yang dikompresi.

Alih-alih mendengarkan musik dari rilisan fisik, sekarang orang-orang bisa dengan gampang mendengarkan musik secara gratis melalui platform digital seperti Spotify, Youtube Music, dan Apple Music.

Sedangkan mencari rilisan fisik jelas susah, tidak efisien dibanding mencarinya lewat platform digital. Cukup satu kali klik, sudah bisa menikmati lagu kesukaan. Ya, kebanyakan penyuka musik cari gampangnya dan itu lumrah saja. Namun, bukan berarti rilisan fisik tidak laku. Selalu ada orang yang mencarinya.

Cak Tono mengutarakan, rata-rata dalam sehari ada orang mendatangi kiosnya untuk membeli kaset. Pembeli biasanya sengaja mencari rilisan fisik musik-musik lawas. Bahkan, pembelinya golongan usia muda dan tua.

Ia malah pernah kedatangan pembeli yang berstatus siswa sekolah dasar. Bagai angin dalam lipatan tangan, Cak Tono sangat lega dan senang melihat kedatangan si anak SD.

“Sekarang ini biarpun ada digital, itu justru trennya kayak mundur. Banyak anak muda sekarang yang suka musik-musik klasik. Enaknya sekarang stok lama yang nggak laku jadi laku,” kata Tono.

Baca juga: Mengenal Mochi, Kue Tahun Baru Jepang

Ia mencontohkan seorang lelaki yang cukup rutin mendatangi kiosnya dalam dua tahun terakhir.

Saat masih berkuliah di Malang, orang itu mendatangi lapak Tono hanya untuk melihat-lihat kaset pita lawas. Mungkin uang sakunya tak cukup untuk membeli pita kaset.

Kini, setelah orang itu menjadi kepala sekolah di Kabupaten Tulungagung, ia tidak segan-segan memborong pita kaset dari kios Cak Tono. Bahkan jika dihitung, lelaki itu hendak membeli ribuan pita kaset dengan total harga 20 juta rupiah.

“Dia pernah datang bilang ke aku bahwa dia punya uang Rp 20 juta buat beli kaset. Diborong secara bertahap. Misal, sekarang dia datang bawa Rp 1 juta dapat 55 kaset,” Cak Tono menceritakan orang itu.

Memang, di era sekarang sangat gampang untuk menikmati musik. Efisien dan gratis. Namun, pecinta kaset musik “garis keras”, mendengarkan musik bukan melulu soal kemudahan akses. Bisa jadi, melodi yang terekam dalam pita magnetik kaset mengandung kenangan berharga bagi seseorang. Tentu ini persoalan nostalgia dan histori yang sulit dinilai dengan angka rupiah.

Saat kami sedang asyik mengobrol, tiba-tiba seorang lelaki berbaju biru muda memarkir motornya di seberang jalan. Cak Tono segera melambaikan tangan ke arah pria itu dan sang tamu memang mau ke kios Cak Tono.

“Dia sudah lama di sini. Sejak aku masih jualan di sana (depan toko ban), dia sudah sering nongkrong. Kamu ngobrol juga sama dia,” kata Tono, setengah berbisik.

Baca juga: Balada Musik Oseng-oseng Kangkung Iksan Skuter

Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Yunel. Setelah memesan segelas kopi di warung sebelah, Yunel duduk berdekatan dengan kami.

Yunel mengaku sepantaran usia dengan Cak Tono dan juga menggemari musik sejak kecil. Ia kerap kongko di kios Cak Tono sejak masih kuliah pada dekade 1990-an.

Namun, saat masih usia sekolah menengah, Yunel sudah sering berburu kaset pita di Jalan Juanda. Dulu ada beberapa penjual kaset seperti Tono yang kerap jadi langganannya. Sekarang hanya Cak Tono yang tersisa dan bertahan.

“Tono ini salah satu (penjual kaset) yang bertahan sampai sekarang, mungkin satu-satunya penjual kaset bekas yang tersisa di Kota Malang. Sampe sekarang aku seneng. Seneng musik. Mulai rock sampe metal, tapi (musik) Barat kabeh (semua),” kata Yunel.

Orang-orang seperti Yunel kerap mendatangi kios Cak Tono di akhir pekan. Maka, agar pelanggan puas, Cak Tono biasa membuka kiosnya mulai pukul 20.00 sampai 00.00 WIB tiap Sabtu malam Minggu. Di hari biasa atau weekday, Tono rutin membuka kios tiap pukul 10 pagi dan tutup pukul 3 sore.

Bagi Yunel, Kios Cak Tono Kaset bukan cuma tempat menggantungkan hidup, melainkan juga menjadi ruang melodi yang menghubungkan antargenerasi.

“Ini (kaset pita) kan kenangan. Kenangan zaman SMA, zaman ini itu. Kaset itu, semakin banyak yang mencari, semakin mahal harganya. Bukan hanya hobi, ada kenangan juga di dalamnya,” kata Yunel.

Tiada terasa sudah lama di Kios Cak Tono Kaset. Langit Kota Malang kembali cerah saat menjelang sore. Sejam lagi Cak Tono harus menutup kiosnya karena ada kegiatan lain yang harus diselesaikannya saban sore. Dan, perbincangan kami pun selesai.

Baca juga: Haul Gus Dur, dari Inul Daratista sampai Waduk Kedung Ombo

© PERAWI/Delta Nishfu

Kriteria Menilai Harga Kaset Bekas

Terdapat empat kriteria yang biasa digunakan untuk menaksir harga pasaran kaset pita bekas.

  1. Tingkat kelangkaan. Harga pasaran sebuah kaset bekas akan bernilai tinggi apabila kasetnya sudah sangat sulit didapatkan alias langka.
  2. Kondisi fisik. Harga sebuah kaset pita bisa berharga tinggi jika kotak kaset, kertas sampul (cover), fisik kaset, dan audionya masih bagus. Sebaliknya, jika barangnya punya satu cacat saja, maka harganya turun.
  3. Nama tenar musisi. Ketenaran nama seorang musisi bisa mempengaruhi harga jual kaset bekas. Makin terkenal musisinya, biasanya harga kaset bekas pun cukup mahal.
  4. Umur album. Tinggi-rendah harga kaset bekas juga ditentukan usia album. Biasanya, makin tua umurnya, makin mahal harganya, apalagi jika kasetnya merupakan album pertama. Namun, kriteria ini juga masih ditentukan oleh kepopuleran sang musisi atau penyanyi. Kaset album tua bisa saja berharga murah jika musisi atau penyanyinya tidak terkenal.

Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025

 

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *