18 Tahun Aksi Kamisan di Depan Istana Kepresidenan

Ilustrasi: PERAWI/Abdi Purmono

SETIAP Kamis sore seorang ibu tua gigih berdiri di depan Istana Kepresidenan. Dia hanya diam hingga petang datang.

Dan, dia terus melakukan hal yang sama setiap hari Kamis: diam berdiri di depan Istana Kepresidenan bersama banyak orang dalam Aksi Kamisan.

Sorot matanya memancarkan kesan seolah-olah dia sedang menanti seseorang keluar dari Istana untuk menjumpai dia dan kawan-kawan peserta Aksi Kamisan. Pikiran polos saya, mungkin dia ingin bertemu dengan Presiden untuk menyampaikan pesan sangat penting atau mungkin hendak menyampaikan aspirasinya atas suatu hal yang hanya dapat diselesaikan oleh Presiden.

Selang beberapa waktu, saya akhirnya mengetahui beliau adalah Maria Katarina Sumarsih. Panggilannya Ibu Sumarsih.

Ternyata Ibu Sumarsih berdiri di depan Istana untuk menyuarakan haknya, memperjuangkan keadilan bagi anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya yang diduga ditembak aparat di depan kampusnya saat terjadi bentrokan antara aparat dan mahasiswa pada Jumat, 13 November 1998, saat menjelang penutupan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau MPR RI.

Baca juga: Haul Gus Dur, dari Inul Daratista sampai Waduk Kedung Ombo  

Menurut cerita yang saya dapatkan, beliau melakukan aksi tersebut sejak kondisi tubuhnya masih prima sampai jadi renta termakan usia. Namun harapannya tidak berubah: negara harus bertanggung jawab atas nasib Wawan dan korban-korban lainnya.

Saya membaca cerita tentang Ibu Sumarsih dan dari situlah saya tahu Wawan jadi korban Tragedi Semanggi I, yang ditandai oleh serangkaian kekerasan aparat keamanan pada masa Reformasi 1998. Wawan bersama teman-temannya turun ke jalan untuk menghentikan rezim otoriter Soeharto.

Kematian Wawan menorehkan luka sangat mendalam pada diri Ibu Sumarsih. Putra sulung yang dia besarkan dengan penuh cinta-kasih harus meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya tanpa pernah diketahui jasadnya ada di mana.

Kamis demi Kamis berlalu dan Ibu Sumarsih masih setia berdiri di depan Istana untuk menyuarakan keadilan bagi Wawan dan korban lainnya. Dia menuntut negara bertanggung jawab atas kematian anaknya; negara dituntut untuk memberitahu di mana jasad Wawan karena sejak 13 November 1998 tubuh Wawan tidak pernah ditemukan, bak menghilang dimakan bumi.

Tuntutan Ibu Sumarsih adalah meminta negara berterus terang dan meminta maaf. Jika sang anak telah mati, maka dia ingin negara mengatakan terbuka anaknya memang telah mati. Jika benar demikian, negara menjelaskan di mana jenazahnya dikubur, negara menerangkan siapa pembunuhnya, juga negara harus menjelaskan siapa yang paling bertanggung jawab atas Tragedi Semanggi I.

Baca juga: Pers Mahasiswa Bukanlah Anak Tiri Perguruan Tinggi

Boleh dibilang, permintaan Ibu Sumarsih tidak muluk-muluk. Dia hanya ingin tahu di mana tubuh anaknya sekarang dan negara meminta maaf atas kematian anaknya. Karena saat itu negara memang menggunakan kekuatannya lewat aparat keamanan untuk membungkam suara protes mahasiswa.

Selama tuntutannya tidak dipenuhi oleh negara, maka Ibu Sumarsih akan terus tegak berdiri di depan Istana Kepresidenan pada setiap hari Kamis. Dia bergeming berdiri dengan tetap membawa harapan bahwa nurani Sang Presiden tergugah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan seadil-adilnya.

Selain kisah Ibu Sumarsih, saya juga mendengarkan kisah serupa saat berkuliah 10 tahun lalu. Ada seorang ibu yang teguh dan gigih memperjuangkan keadilan bagi anaknya. Nama lengkapnya Genoveva Misiati Utomo, tapi biasa dipanggil Bu Misiati.

Ibu Misiati menghabiskan hari-harinya dalam kesepian. Dia menunggu dan terus menunggu selama 20 tahun, tapi sang anak tak juga pulang. Bahkan, hingga Ibu Misiati wafat di RS Panti Nirmala, Kota Malang, pada Senin pagi, 6 Agustus 2018, sang putra yang bernama Bimo Petrus Anugrah tak juga kembali ke rumah.

Dan, tinggal sang ayah (Dionysius Utomo Raharjo) yang setia menanti kepulangan Bimo.

Bimo Petrus Anugrah adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, yang aktif terlibat dalam gerakan demokrasi dan reformasi. Ia aktif di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik. Bimo diduga kuat diculik aparat militer 1 April 1998 dan sejak itu Bimo tak pernah kelihatan lagi hingga sekarang.

Ibu Misiati terakhir berjumpa dengan Bimo tahun 1998, saat Bimo berpamitan untuk pergi ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung bersama teman-temannya untuk memperjuangkan demokrasi melawan rezim Orde Baru. Namun, semenjak itu, tiada lagi kabar dari Bimo.

Sama halnya dengan Ibu Sumarsih, Ibu Misiati saat masih hidup sangat ingin mengetahui keberadaan Bimo. Jika Bimo telah mati, lantas di mana tubuhnya? Siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya?

Baca juga: Move in Silence, Semacam Buku Putih Tragedi Kanjuruhan versi Polisi

Cerita di atas hanya sebagian kecil kisah dua orang emak yang menanti kepulangan anaknya masing-masing. Anak-anaknya yang memilih jalan sunyi, mengorbankan diri untuk memperjuangkan reformasi supaya Indonesia bebas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta berubah menjadi lebih beradab, demokratis, transparan, dan maju.

Tanpa perjuangan Wawan dan Bimo, serta ribuan mahasiswa lainnya, mustahil Reformasi 1998 terwujud, di mana mayoritas orang Indonesia berimajinasi tentang perubahan terbaik Indonesia, tiada lagi pembungkaman, dan semua orang dapat berpartisipasi untuk menentukan nasibnya lewat Pemilu.

18 Tahun Aksi Kamisan

Semangat Ibu Sumarsih, Ibu Misiati dan para orang tua lainnya adalah pemantik lahirnya ruang berkumpul untuk menyuarakan keadilan bersama-sama, yang dinamai Aksi Kamisan.

Itulah wadah bagi mereka yang mengalami ketidakadilan, rumah bagi orang-orang yang haknya dirampas; sebuah aksi yang tidak mengusung kepentingan apa pun kecuali menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Aksi Kamisan pertama kali digelar pada Kamis, 18 Januari 2007.

Orang-orang yang menggagas maupun terlibat dalam Aksi Kamisan telah bersepakat untuk terus menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Kepresidenan selama kebenaran belum terungkap dan keadilan belum terwujud.

Mereka juga bersepakat untuk menggelar Aksi Kamisan selama perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia belum terwujud dan cuma jadi janji politik penguasa atau sekadar jadi kata penghias pidato maupun kertas-kertas akademis dan kebijakan.

Selama Aksi Kamisan masih ada, itulah pertanda demokrasi masih sakit dan jangan berharap berharap kebenaran muncul dan keadilan ditegakkan.

Karena, selama 26 tahun Reformasi, cita-cita luhur itu belum benar-benar terwujud. Janji-janji menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu masih jalan di tempat. Orang-orang yang dahulu menjadi kroni kekuasaan nyatanya hingga sekarang masih bebas melenggang, mereka makin sulit dijangkau karena mereka berdiri di atas fondasi kekuasaan dan bahkan memegang kendali atas negara ini.

Baca juga: Aktivis di Kota Malang Suarakan 14 Tuntutan Saat Penutupan Kampanye 16 HAKTP

Sebagai penutup, meminjam semangat Ibu Sumarsih dan mendiang Ibu Misiati, serta Aksi Kamisan yang telah 18 tahun hadir menyertai mereka yang terpinggirkan, bahwa perjuangan butuh waktu, juga butuh banyak teman dan penyemangat. Bagi kita orang-orang biasa yang tidak punya kuasa, senjata kita satu-satunya adalah bersolidaritas dan terus bersuara.

Pekikan “hidup korban, jangan diam, lawan!” adalah bahan bakar untuk terus semangat memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Pekikan itu akan terus hadir dan hidup, maka teruslah berjuang sampai keadilan didapatkan. Sampai suatu saat nanti apa yang dicita-citakan terwujud.

Editor: Abdi Purmono Wongsodjojo
COPYRIGHT © PERAWI.CO 2025

 

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *